Unda

Kamis, 19 Agustus 2010

Syaikhut Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: "Ikhwanul Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah"


Usianya belumlah setengah abad. Tapi pembawaannya yang tenang kebapakan serta rambut dan janggutnya yang sebagian telah memutih, mengesankan pria kelahiran Jakarta, 3 Juli 1953 ini lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sehingga cukup pantas bila ia kerap dituakan dan disegani oleh lingkungan pergaulannya.

Dalam publikasi acara Seminar Nasional "Tarbiyah di Era Baru" di Masjid UI, Kampus UI Depok, awal bulan lalu, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah; sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan aktivis da'wah dan harakah (pergerakan) selama ini.
Ketika dikonfirmasi Sahid tentang jabatan tersebut, sambil tersenyum dan merendah Rahmat membantahnya. Menurut Ketua Yayasan Iqro' Bekasi ini sebutan tersebut hanyalah gurauan panitia yang kebetulan telah akrab dengannya. Rahmat sempat mengajukan keberatan kepada panitia, tapi ternyata publikasinya sudah terlanjur disebar. Akhirnya ayah dari tujuh putra-putri ini cuma bisa balik bergurau, "Adik-adik mau nyindir bahwa saya sudah kakek-kakek ya? Syaikh itu kan dalam bahasa Arab artinya kakek."

Ayah sayang Bunda

kami sederhana tapi sangat meriah. Menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula. Dia sudah sukses dalam karir nya. Kami berbulan madu di tanah suci. Setelah menikah aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci....

Aku sangat bahagia dengan nya, dia sangat memanjakan aku. Sangat terlihat rasa cinta dan sayangnya pada ku. Banyak orang yang bilang,kami pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Aku bahagia menikah dengannya.

Rabu, 04 Agustus 2010

KH Rahmat Abdullah (In Memoriam)

PKS Online: KH Rahmat Abdullah dilahirkan di kota Jakarta pada tanggal 3 Juli 1953. Putra kedua dari 4 (empat) bersaudara ini hidup dari keluarga asal Betawi yang sederhana dan taat beragama. Pada usia 11 tahun ia harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, saat itu ia mulai berstatus sebagai seorang anak yatim.

KH. Rahmat Abdullah (Ketua Majelis Syuro PK): "Saya Ingin Lebih Banyak Menggali Ilmu dan Menyebarkan Dakwah Ini"

Bawaannya yang teduh dan khusyu', kadang diselingi canda selalu menjadi ciri khasnya. Di tengah usianya yang sudah 'sepuh', ustadz asli Betawi ini tetap bersemangat menda'wahkan Islam. Beliau ingin agar ada tunas-tunas muda PK yang menggantikan dirinya. Kepada Suara Keadilan Al-Ustadz Rahmat Abdullah menuturkan kisah hidupnya. Selamat menyimak !

Bisakah diceritakan aktifitas sehari-hari ustadz?

KH Rahmat Abdullah, "Tempat Curhat Santri Kilat"

Nama Rahmat Abdullah identik dengan halaqah dan daurah. Bila Ramadhan tiba dan pesantren kilat (sanlat) marak dimana-mana, Ustadz Rahmat seolah tak punya waktu luang untuk kegiatan lain. Jangan heran bila pria ramah ini diberi gelar 'PhD'. "Bukan singkatan dari Philosophy of Doctor, tapi Pakar Halaqah dan Daurah," candanya.

KH Rahmat Abdullah: Kebangkitan Islam Hanya Soal Waktu

PEKANBARU – Cita-cita kebangkitan Islam bukanlah mimpi di siang bolong. Ia bisa diwujudkan asal memenuhi syarat untuk bangkit. Selain eksistensi umat yang nyata disetiap aspek kehidupan, kebangkitan juga mensyaratkan bangkitnya ulama dalam memimpin umat. Ulama harus menjadi pelopor kebajikan dan suritauladan. Jika kedua syarat itu terpenuhi, kebangkitan hanya soal waktu.

Demikian orasi yang disampaikan Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) KH Rahmat Abdullah dihadapan ratusan massa kader PKS di halaman Masjid Baitul Makmur, Jalan Warta Sari, Tangkerang Selatan, Pekanbaru, Riau, Senin (22/9/2003) lalu.



Shalawat Atas Nabi SAW

Oleh KH. Rahmat Abdullah

Apa yang Tuan pikirkan tentang seorang laki-laki berperangai amat mulia, yang lahir dan dibesarkan di celah-celah kematian demi kematian orang-orang yang amat mengasihinya? Lahir dari rahim sejarah, ketika tak ada seorangpun mampu mengguratkan kepribadian selain kepribadiannya sendiri. Ia produk ta'dib Rabbani (didikan Tuhan) yang menantang mentari dalam panasnya dan menggetarkan jutaan bibir dengan sebutan namanya, saat muaddzin mengumandangkan adzan.

Di rumahnya tak dijumpai perabot mahal. Ia makan di lantai seperti budak, padahal raja-raja dunia iri terhadap kekokohan struktrur masyarakat dan kesetiaan pengikutnya. Tak seorang pembantunya pun mengeluh pernah dipukul atau dikejutkan oleh pukulannya terhadap benda-benda di rumah. Dalam kesibukannya ia masih bertandang ke rumah puteri dan menantu tercintanya, Fathimah Az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib.

Bulan Ramadlan : Stasiun Besar Musafir Iman

Ustadz KH Rahmat Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan. Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.


Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati

Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Alqur-an dulu, baru yang lain

Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.

Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius. []

[pks.or.id]

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwwah

KH Rahmat Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW : "Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (HSR Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal. Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'i yang menggariskan aqidah "La tha’ata limakhluqin fi ma’shiati’l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (HSR Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).


Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus’ shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Bagi kesejatian ukhuwah berlaku pesan mulia yang tak asing di telinga dan hati setiap ikhwah : "Innahu in lam takun bihim falan yakuna bighoirihim, wa in lam yakunu bihi fasayakununa bighoirihi" (Jika ia tidak bersama mereka, ia tak akan bersama selain mereka. Dan mereka bila tidak bersamanya, akan bersama selain dia). Karenanya itu semua akan terpenuhi bila ‘hati saling bertaut dalam ikatan aqidah’, ikatan yang paling kokoh dan mahal. Dan ukhuwah adalah saudara iman sedang perpecahan adalah saudara kekafiran (Risalah Ta'lim, rukun Ukhuwah).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'-wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah sekarang sudah masuk jajaran masyaikh. Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya. Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da’wah telah mengelupas. Kala itu jarang da’i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da’wati" : Isteriku atau da’wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da’wah. Apa pantas sesudah da’wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da’wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari. Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da’wah tersebut sudah menikmati berkah da’wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da’wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da’wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absen dalam pertemuan kader (liqa’). Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna : kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11). Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da’wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan dimuhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dak-wah. Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da’wah, baik halaqah atau pun musyawarah yang keseluruhannya penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "in lam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A’raf Ayat 163 : "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak bersabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka". Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda’wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan. Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da’wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang masyaikh da’wah ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda’wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda’wah, da’wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Syaikh tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum’at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da’wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara. Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan me-nyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Iman dan Pengendalian Kesadaran Ma’iyatullah

Aqidah kita mengajarkan, tak satupun terjadi di langit dan di bumi tanpa kehendak ALLAH. ALLAH berkuasa menahan keinginan datangnya tamu-tamu yang akan menghalangi kewajiban da’wah. Apa mereka fikir orang-orang itu bergerak sendiri dan ALLAH lemah untuk mencegah mereka dan mengalihkan mereka ke waktu lain yang tidak menghalangi aktifitas utama dalam da’wah? Tanyakan kepada pakarnya, aqidah macam apa yang dianut seseorang yang tidak meyakini ALLAH menguasai segalanya? Mengapa mereka yang melalaikan tugas da’wahnya tidak berfikir perasaan sang isteri yang keberatan ditinggalkan beberapa saat, juga sebenarnya batu ujian yang dikirim ALLAH, apakah ia akan mengutamakan tugas da’wahnya atau keluarganya yang sudah punya alokasi waktu ? Yang ia beri mereka makanan dari kekayaan ALLAH ?

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa’, syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan. Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda’wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da’wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya’ mungkin– dimasa ujian – akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun.Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya ‘selamat’ dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (d/h Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian – sesudah syukur – karena kita hidup di masyarakat Da’wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu. Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'Llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da’wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama’i tempat kita ‘menyumbangkan’ karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama’i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da’wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : ‘Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da’wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu – karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna – menung-gu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.

Saling mendo’akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.[]

Kerendahan Hati dan Kepekaan Sosial

KH Rahmat Abdullah
Ketua MPP PK

Merendahlah, engkau kan seperti bintang-gemintang
Berkilau di pandang orang
Diatas riak air dan sang bintang nun jauh tinggi
Janganlah seperti asap
Yang mengangkat diri tinggi di langit
Padahal dirinya rendah-hina

Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya, Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka ?

Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak terragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.

Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan ? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.

Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), “Bila Anda perlu mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan kami akan antar ke rumah rawat”. Mereka tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.

Kader Pra Pemilu

Banyak kader tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli bangunan dan pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa dengan lahap menenggak su-guhan teh panas di gelas mereka yang sederhana atau melahap sepotong dua tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu bakar atau kompor minyak yang selalu me-nyimpan ancaman terselubung untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih punya frekuensi dan gelombang setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang membedakan mereka mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis dan tidak punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader punya ‘sistem’ untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran yang banyak dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan mereka memilih dalam pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !

Apa yang diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota parlemen ? No way ! Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi ? Tak mimpi, lah. Begitu tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan keadilan bisa tegak di tangan para kader yang akrab dan beradab, bersih dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat kebenaran serta lantang mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan gugatan-gugatan. Mereka punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa yang jujur, asal dekat, terjangkau dan meyakinkan.

Terlalu rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat beban hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang pergi, lancung atau pendustakah mereka.

Disini demokrasi menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan untuk pada saatnya di-tukar dengan suara murah di bilik pemilu. Partai mitos sengaja merawat kebodohan dan memupuknya dengan berbagai mimpi kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar rakyat tetap mendukung dan tak menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.

Rakyat Pasca Pemilu

Kecuali dari kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar judi, bandar bakso atau pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi itu dari partainya dengan tarif ratusan juta rupiah – selebihnya rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus bergulir. Naik turun dalam kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur atau menjadi gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu diatasnamakan.

Terkadang muncul penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena kondisi rumah yang tak kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk menebus anak yang di tangkap polisi atau memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi mangsa narkoba.
Yang hanif tetap dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud. Hal yang tak berubah dari mereka; dukungan.

Mereka sangat sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa terhadap partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja komentar bisa sangat getir:
- “Ah, lehernya sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi”
- “Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong kami”
- “Mereka orang-orang steril, alergi ketemu rakyat”
- “Ah, kita kan cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung kami, ya sudah, tinggal senang-senang saja”
- “Dulu, waktu masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering datang, sekarang 3 lebaran lewat, la salam wala kalam”
- “Dulu sih, kita masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan partai lain. Kadernya sombong-sombong”
- “Apa yang berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang kita dengar ramai, itu klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya makin gemerlap. Mainan anaknya makin norak. Sudah itu mobil dinas dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu karena tamunya tamu pribadi”


Kedekatan adalah Bahasa Paling Fasih

Tidak benar rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin. Ya, roman-tisme siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan kesederhanaan, terlebih bila itu keluar dari diri dan keluarga kader, pemimpin dan da’i.

Tidak perlu buang energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam suara-suara begini. Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan kesederhanaan, lalu berbagai prasangka segera menguap.

Bukan pergelaran dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau pura-pura peduli. Mereka siap dibohongi asal nampak logis.

Tetapi itu mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong. Banyak orang panik menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti, sebagiannya harapan dan selebihnya ‘kenaifan’ analogi sejarah.

Bagaimana mungkin pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam untuk mengintai ibu-ibu yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?

Kini di siang hari mereka telah menggodog kucing, untuk ‘menenangkan’ mereka. Kadang naluri ‘birokrat’ bekerja dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik, padahal jawabnya tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader. []
Alangkah nikmatnya dicintai dan mencintai, dipercaya dan mempercaya, Alangkah mengharukannya dukungan rakyat yang tanpa pamrih. Kadang mereka lebih galak membela kita daripada kita yang mereka bela. Rakyat bisa datang berjalan kaki bermil-mil, dalam panas dan haus. Untuk apa mereka begitu antusias ? Apa jaminan caleg dan jurkam yang berjanji memperjuangkan nasib mereka ?

Dukungan ini tak lepas dari realita yang mereka temukan dalam kehidupan para kader di pelbagai medan kehidupan. Yang komitmen kerakyatannya tak terragukan. Yang kepekaannya terhadap nasib mereka selalu hidup dan tajam. Yang tertempa oleh ke-ikhlasan dan kesabaran sehingga tak tergiur oleh iming-iming dunia, KKN atau berbagai tekanan, ancaman atau godaan. Kecuali bila Anda adalah sekian dari sekian kekecualian, penumpang gelap di gerbong atau lok keadilan.

Akan teruskah dukungan berdatangan, ataukah seperti penumpang bus yang silih berganti dan berbeda kepentingan atau turun dengan penuh umpatan penyesalan ? Demikian mengharukan dukungan datang. Tetapi awas, tiba-tiba ia dapat berubah menjadi taufan dan amuk balik yang mematikan.

Rakyat terlalu lelah untuk bisa memahami tokoh partai, kiayi muda atau aleg yang takut mengunjungi mereka, karena harus berhati-hati jangan sampai kemeja mahalnya ternoda debu di gubug mereka. Atau pantalonnya lusuh karena duduk diatas bangku reot di warung mereka. Atau nafasnya sesak duduk di rumah mereka yang kecil dan kurang udara. Atau jangan sampai mobil hasil dukungan rakyat tergores di gang sempit tempat domisili mereka. Rasanya terlalu mewah untuk bermimpi kapan pemimpin yang mereka dukung mengikrarkan (dan mem-buktikan), “Bila Anda perlu mengangkut keluarga yang sakit di tengah malam buta, silakan ketuk pintu dan kami akan antar ke rumah rawat”. Mereka tak punya cukup keberanian untuk menyeruak rumah baru para pemimpin yang sudah serba mewah. Mereka pun tak cukup mengerti bahwa ada (isteri) sesama kader juga saling menunggu, kalau-kalau tetangga yang sukses dengan dukungan kita mau ‘melempar’ mesin cuci butut atau kompor bekas yang sudah berganti dengan produk paling mutakhir, atau membeli tambahan buku saat anak-anak mereka berbelanja, untuk teman sekelas atau anak tetangga lainnya.

Kader Pra Pemilu

Banyak kader tahan berbincang berjam-jam dengan rakyat jelata, kuli bangunan dan pengangguran, saat ia masih sama-sama miskin. Ia bisa dengan lahap menenggak su-guhan teh panas di gelas mereka yang sederhana atau melahap sepotong dua tempe yang mereka goreng diatas perapian kayu bakar atau kompor minyak yang selalu me-nyimpan ancaman terselubung untuk meledak kapan-kapan waktu. Ia masih punya frekuensi dan gelombang setara untuk saling berbagi suka dan duka. Yang membedakan mereka mungkin satu, rakyat tak punya lidah yang cukup sistematis dan tidak punya saluran yang memadai untuk mengalirkan aspirasi dan sang kader punya ‘sistem’ untuk mengusung aspirasinya lewat saluran-saluran yang banyak dan lancar. Saluran itu adalah suara rakyat, keikhlasan mereka memilih dalam pemilu dan husnuzzhan yang luar biasa tingginya !

Apa yang diharapkan rakyat dari dukungan mereka ? Ingin jadi anggota parlemen ? No way ! Mau jadi pejabat tinggi di partai atau di birokrasi ? Tak mimpi, lah. Begitu tulus harapan mereka ; agar kebenaran dan keadilan bisa tegak di tangan para kader yang akrab dan beradab, bersih dari KKN dan fasih membacakan ayat-ayat kebenaran serta lantang mempidatokan gagasan-gagasan, janji-janji dan gugatan-gugatan. Mereka punya basic insting yang murni untuk mendukung siapa yang jujur, asal dekat, terjangkau dan meyakinkan.

Terlalu rumit mencerna teori-teori politik dan paradigma da’wah, kecuali para kader telah menyajikannya dengan pendekatan yang membumi. Otak mereka terlalu sarat beban hidup, sehingga pilihan yang mudah diingat ialah wajah yang sering datang pergi, lancung atau pendustakah mereka.

Disini demokrasi menjadi mesin culas orang-orang yang ingin meraih kekuasaan dengan cara-cara licik. Partai dominan membiarkan kemiskinan untuk pada saatnya di-tukar dengan suara murah di bilik pemilu. Partai mitos sengaja merawat kebodohan dan memupuknya dengan berbagai mimpi kewalian, kekeramatan dan kemenangan agar rakyat tetap mendukung dan tak menggunakan nikmat akal yang begitu mahal.

Rakyat Pasca Pemilu

Kecuali dari kelompok pengejar kedudukan – seperti bandar-bandar judi, bandar bakso atau pemulung yang menjadi aleg dengan membeli kursi itu dari partainya dengan tarif ratusan juta rupiah – selebihnya rakyat adalah rakyat. Yang nasib mereka terus bergulir. Naik turun dalam kehidupan. Dengan gubug yang semakin rapuh, tergusur atau menjadi gedung, anak yang semakin banyak tuntutan dan status yang selalu diatasnamakan.

Terkadang muncul penyimpangan pertumbuhan seksual anak-anak, karena kondisi rumah yang tak kondusif bagi pendidikan. Harta habis untuk menebus anak yang di tangkap polisi atau memasukkan anak-anak ke panti rehabilitasi mangsa narkoba.
Yang hanif tetap dengan harapan-harapan yang entah kapan dapat terwujud. Hal yang tak berubah dari mereka; dukungan.

Mereka sangat sederhana dan tidak mengada-ada. Bila mereka mulai kecewa terhadap partai-partai atau petinggi-petinggi partai atau apa saja komentar bisa sangat getir:
- “Ah, lehernya sudah tak bisa menoleh ke gubug kami lagi”
- “Kerongkongannya sudah tak bisa dilewati gorengan singkong kami”
- “Mereka orang-orang steril, alergi ketemu rakyat”
- “Ah, kita kan cuma tangga, sesudah mereka menginjak-injak punggung kami, ya sudah, tinggal senang-senang saja”
- “Dulu, waktu masih perlu dukungan suara untuk Pemilu mereka sering datang, sekarang 3 lebaran lewat, la salam wala kalam”
- “Dulu sih, kita masih berharap. Sekarang, apa bedanya dengan partai lain. Kadernya sombong-sombong”
- “Apa yang berubah, suaranya di parlemen: sepi, sepi, sepi ! Yang kita dengar ramai, itu klakson mobil mengkilapnya. Pakaian isterinya makin gemerlap. Mainan anaknya makin norak. Sudah itu mobil dinas dipakai nganter anak. Ngomongnya dulu Umar bin Abdul Aziz mematikan lampu karena tamunya tamu pribadi”


Kedekatan adalah Bahasa Paling Fasih

Tidak benar rakyat senang betul melihat para pemimpin lapar dan miskin. Ya, roman-tisme siapa saja bisa terpanggil oleh kebersahajaan dan kesederhanaan, terlebih bila itu keluar dari diri dan keluarga kader, pemimpin dan da’i.

Tidak perlu buang energi, berkerut wajah dan berbusa mulut untuk meredam suara-suara begini. Mereka hanya memerlukan keakraban, kebersahajaan dan kesederhanaan, lalu berbagai prasangka segera menguap.

Bukan pergelaran dendam kemiskinan, lagak pahlawan kesiangan atau pura-pura peduli. Mereka siap dibohongi asal nampak logis.

Tetapi itu mustahil, kecuali Anda memang dilahirkan untuk berbohong. Banyak orang panik menghadapi kritikan yang sebagiannya memang berbukti, sebagiannya harapan dan selebihnya ‘kenaifan’ analogi sejarah.

Bagaimana mungkin pemimpin disuruh pergi berkeliling negeri malam-malam untuk mengintai ibu-ibu yang menggodog batu, agar anak-anaknya tenang ?

Kini di siang hari mereka telah menggodog kucing, untuk ‘menenangkan’ mereka. Kadang naluri ‘birokrat’ bekerja dengan jawaban-jawaban oral yang sengit dan apologik, padahal jawabnya tersimpan dibalik kerendahan hati dan kepekaan sosial kader. []

Buah Mengimani Hari Akhir

Oleh: KH Rahmat Abdullah

Iman terhadap hari akhir (kiamat) secara khusus diulang-ulang, baik dalam Alquran maupun Hadis. Kerap penyebutan itu terkait dengan penguatan komitmen untuk melaksanakan sesuatu atau untuk meninggalkan sesuatu. ''... jika berselisih tentang sesuatu, hendaklah kalian kembalikan itu kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir... (Qs 4:59).


kaki-kaki mereka atas segala yang mereka kerjakan.'' (Qs 36:65). Karenanya, rangkaian amal terkait jenazah bukan hanya berdampak sosial, tetapi juga moral-spiritual.

Alquran berulang-ulang mengantar harapan Rasulullah saw dan para sahabat jauh ke depan, bahwa kemenangan sejati akan mereka capai di akhirat nanti.

Dengan iman terhadap hari akhir, seorang pejuang tidak kenal putus asa. Apa dan berapa saja pengorbanan di jalan Allah, ia sangat yakin akan catatan dan ganjarannya. Bahkan, Alquran melarang mengatakan mujahid yang syahid di jalan Allah sebagai mati karena mereka memang hidup (QS 2:154/ 3:169).

Demikianlah para rasul dan para pengikut tidak merasakan kepedihan dalam perjuangan. Kalau wajah seorang Yusuf AS, remaja yang tampan, telah membuat perempuan-perempuan di Mesir mengiris-iris jari-jari mereka tanpa sadar, betapa keindahan surga dan kepastian janji Allah telah membuat para pejuang di jalan-Nya sama sekali tidak merasa rugi, kalah atau sia-sia. Sebaliknya, mereka yang menzalimi diri sendiri atau sesama harus segera ingat bahwa ada batas usia bagi kehidupan dan ada persidangan yang adil. Sesudah itu kebahagiaan atau kesengsaraan abadi.

Iman terhadap hari akhir menyuburkan sikap tanggung jawab. Mereka yang dipuji-Nya sebagai orang-orang yang ''... pagi dan petang bertasbih di rumah-rumah Allah'' adalah orang-orang yang tidak terlalaikan oleh aktivitas perdagangan dan jual beli, dari mengingat Allah, menegakkan shalat dan menunaikan shalat, ''Karena mereka takut akan hari saat berguncang-guncangnya hati dan penglihatan... (Qs 24:37)

Iman ini juga menghasilkan, memelihara, dan meningkatkan keikhlasan, keteguhan, dan semangat juang. Keberanian, kesungguhan dan optimisme adalah ciri khas mereka yang beriman kepada Allah dan hari akhir.

'Sesungguhnya yang akan memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menegakkan shalat, dan menunaikan zakat serta tidak takut kepada siapa pun selain Allah ....'' (QS 9:18). Penyiksaan terhadap keluarga Yasir RA sangat brutal, khususnya pembunuhan Sumayah, istri Yasir. Tak ada lagi yang dapat dilakukan selain berdoa dan berharap. Keluarlah kata bersayap Rasulullah, ''Bersabarlah, wahai keluarga Yasir, tempat kalian berjumpa (esok) di surga.''

Sangat menyentuh dan membuat gairah takwa saat membaca atau mendengar ayat-ayat Hari Akhir, ''Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan kepada mereka oleh Tuhan mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.'' (Addzariyat: 14-19).

Militansi ......

Oleh: KH Rahmat Abdullah

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Ba’da tahmid wa shalawat.

Ikhwah rahimakumullah,

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah ..”.

Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.


Namun kebatilan pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.

Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang da’i harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.

Ali sempat mengeluh ketika melihat semangat juang pasukannya mulai melemah, sementara para pemberontak sudah demikian destruktif, berbuat dan berlaku seenak-enaknya. Para pengikut Ali saat itu malah menjadi ragu-ragu dan gamang, sehingga Ali perlu mengingatkan mereka dengan kalimatnya yang terkenal tersebut.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Ketika Allah menyuruh Nabi Musa as mengikuti petunjuk-Nya, tersirat di dalamnya sebuah pesan abadi, pelajaran yang mahal dan kesan yang mendalam: “Dan telah Kami tuliskan untuk Musa pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu; maka (Kami berfirman): “Berpeganglah kepadanya dengan teguh dan suruhlah kaummu berpegang teguh kepada perintah-perintahnya dengan sebaik-baiknya, nanti Aku akan memperlihatkan kepadamu negeri orang-orang yang fasiq”.(QS. Al-A’raaf (7):145)

Demikian juga perintah-Nya terhadap Yahya, dalam surat Maryam ayat 12: “Hudzil kitaab bi quwwah” (Ambil kitab ini dengan quwwah). Yahya juga diperintahkan oleh Allah untuk mengemban amanah-Nya dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan). Jiddiyah ini juga nampak pada diri Ulul Azmi (lima orang Nabi yakni Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad yang dianggap memiliki azam terkuat).

Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.

Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.

Hendaknya kita melihat bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.

Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Seperti digambarkan dalam QS. 11:120, orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah,

Di antara sekian jenis kemiskinan, yang paling memprihatinkan adalah kemiskinan azam, tekad dan bukannya kemiskinan harta.

Misalnya anak yang mendapatkan warisan berlimpah dari orangtuanya dan kemudian dihabiskannya untuk berfoya-foya karena merasa semua itu didapatkannya dengan mudah, bukan dari tetes keringatnya sendiri.

Boleh jadi dengan kemiskinan azam yang ada padanya akan membawanya pula pada kebangkrutan dari segi harta. Sebaliknya anak yang lahir di keluarga sederhana, namun memiliki azam dan kemauan yang kuat kelak akan menjadi orang yang berilmu, kaya dan seterusnya.

Demikian pula dalam kaitannya dengan masalah ukhrawi berupa ketinggian derajat di sisi Allah. Tidak mungkin seseorang bisa keluar dari kejahiliyahan dan memperoleh derajat tinggi di sisi Allah tanpa tekad, kemauan dan kerja keras.

Kita dapat melihatnya dalam kisah Nabi Musa as. Kita melihat bagaimana kesabaran, keuletan, ketangguhan dan kedekatan hubungannya dengan Allah membuat Nabi Musa as berhasil membawa umatnya terbebas dari belenggu tirani dan kejahatan Fir’aun.

Berkat do’a Nabi Musa as dan pertolongan Allah melalui cara penyelamatan yang spektakuler, selamatlah Nabi Musa dan para pengikutnya menyeberangi Laut Merah yang dengan izin Allah terbelah menyerupai jalan dan tenggelamlah Fir’aun beserta bala tentaranya.

Namun apa yang terjadi? Sesampainya di seberang dan melihat suatu kaum yang tengah menyembah berhala, mereka malah meminta dibuatkan berhala yang serupa untuk disembah. Padahal sewajarnya mereka yang telah lama menderita di bawah kezaliman Fir’aun dan kemudian diselamatkan Allah, tentunya merasa sangat bersyukur kepada Allah dan berusaha mengabdi kepada-Nya dengan sebaik-baiknya. Kurangnya iman, pemahaman dan kesungguh-sungguhan membuat mereka terjerumus kepada kejahiliyahan.

Sekali lagi marilah kita menengok kekayaan sejarah dan mencoba bercermin pada sejarah. Kembali kita akan menarik ibrah dari kisah Nabi Musa as dan kaumnya.

Dalam QS. Al-Maidah (5) ayat 20-26 :

“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu, ketika Dia mengangkat nabi-nabi di antaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun di antara umat-umat yang lain”.

“Hai, kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke belakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.

“Mereka berkata: “Hai Musa, sesungguhnya dalam negri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari negri itu. Jika mereka keluar dari negri itu, pasti kami akan memasukinya”.

“Berkatalah dua orang di antara orang-orang yang takut (kepada Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya: “Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.

“Mereka berkata: “Hai Musa kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja”.

“Berkata Musa: “Ya Rabbku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasiq itu”.

“Allah berfirman: “(Jika demikian), maka sesungguhnya negri itu diharamkan atas mereka selama empat puluh tahun, (selama itu) mereka akan berputar-putar kebingungan di bumi (padang Tiih) itu. Maka janganlah kamu bersedih hati (memikirkan nasib) orang-orang yang fasiq itu”.

Rangkaian ayat-ayat tersebut memberikan pelajaran yang mahal dan sangat berharga bagi kita, yakni bahwa manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha seperti tertera dalam QS. Ar-Ra’du (13):11, “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri”.

Nabi Musa as adalah pemimpin yang dipilihkan Allah untuk mereka, seharusnyalah mereka tsiqqah pada Nabi Musa. Apalagi telah terbukti ketika mereka berputus asa dari pengejaran dan pengepungan Fir’aun beserta bala tentaranya yang terkenal ganas, Allah SWT berkenan mengijabahi do’a dan keyakinan Nabi Musa as sehingga menjawab segala kecemasan, keraguan dan kegalauan mereka seperti tercantum dalam QS. Asy-Syu’ara (26):61-62, “Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. Musa menjawab: “Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Rabbku bersamaku, kelak Dia pasti akan memberi petunjuk kepadaku”.

Semestinya kaum Nabi Musa melihat dan mau menarik ibrah (pelajaran) bahwa apa-apa yang diridhai Allah pasti akan dimudahkan oleh Allah dan mendapatkan keberhasilan karena jaminan kesuksesan yang diberikan Allah pada orang-orang beriman. Allah pasti akan bersama al-haq dan para pendukung kebenaran. Namun kaum Nabi Musa hanya melihat laut, musuh dan kesulitan-kesulitan tanpa adanya tekad untuk mengatasi semua itu sambil di sisi lain bermimpi tentang kesuksesan. Hal itu sungguh merupakan opium, candu yang berbahaya.

Mereka menginginkan hasil tanpa kerja keras dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah “qaumun jabbarun” yang rendah, santai dan materialistik. Seharusnya mereka melihat bagaimana kesudahan nasib Fir’aun yang dikaramkan Allah di laut Merah.

Seandainya mereka yakin akan pertolongan Allah dan yakin akan dimenangkan Allah, mereka tentu tsiqqah pada kepemimpinan Nabi Musa dan yakin pula bahwa mereka dijamin Allah akan memasuki Palestina dengan selamat. Bukankah Allah SWT telah berfirman dalam QS. 47:7, “In tanshurullah yanshurkum wayutsabbit bihil aqdaam” (Jika engkau menolong Allah, Allah akan menolongmu dan meneguhkan pendirianmu).

Hendaknya jangan sampai kita seperti Bani Israil yang bukannya tsiqqah dan taat kepada Nabi-Nya, mereka dengan segala kedegilannya malah menyuruh Nabi Musa as untuk berjuang sendiri. “Pergilah engkau dengan Tuhanmu”. Hal itu sungguh merupakan kerendahan akhlak dan militansi, sehingga Allah mengharamkan bagi mereka untuk memasuki negri itu. Maka selama 40 tahun mereka berputar-putar tanpa pernah bisa memasuki negri itu.

Namun demikian, Allah yang Rahman dan Rahim tetap memberi mereka rizqi berupa ghomama, manna dan salwa, padahal mereka dalam kondisi sedang dihukum.

Tetapi tetap saja kedegilan mereka tampak dengan nyata ketika dengan tidak tahu dirinya mereka mengatakan kepada Nabi Musa tidak tahan bila hanya mendapat satu jenis makanan.

Orientasi keduniawian yang begitu dominan pada diri mereka membuat mereka begitu kurang ajar dan tidak beradab dalam bersikap terhadap pemimpin. Mereka berkata: “Ud’uulanaa robbaka” (Mintakan bagi kami pada Tuhanmu). Seyogyanya mereka berkata: “Pimpinlah kami untuk berdo’a pada Tuhan kita”.

Kebodohan seperti itu pun kini sudah mentradisi di masyarakat. Banyak keluarga yang berstatus Muslim, tidak pernah ke masjid tapi mampu membayar sehingga banyak orang di masjid yang menyalatkan jenazah salah seorang keluarga mereka, sementara mereka duduk-duduk atau berdiri menonton saja.

Rasulullah saw memang telah memberikan nubuwat atau prediksi beliau: “Kelak kalian pasti akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian selangkah demi selangkah, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta dan sedepa demi sedepa”. Sahabat bertanya: “Yahudi dan Nasrani ya Rasulullah?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi?”.

Kebodohan dalam meneladani Rasulullah juga bisa terjadi di kalangan para pemikul dakwah sebagai warasatul anbiya (pewaris nabi).

Mereka mengambil keteladanan dari beliau secara tidak tepat. Banyak ulama atau kiai yang suka disambut, dielu-elukan dan dilayani padahal Rasulullah tidak suka dilayani, dielu-elukan apalagi didewakan. Sebaliknya mereka enggan untuk mewarisi kepahitan, pengorbanan dan perjuangan Rasulullah. Hal itu menunjukkan merosotnya militansi di kalangan ulama-ulama amilin.

Mengapa hal itu juga terjadi di kalangan ulama, orang-orang yang notabene sudah sangat faham. Hal itu kiranya lebih disebabkan adanya pergeseran dalam hal cinta dan loyalitas, cinta kepada Allah, Rasul dan jihad di jalan-Nya telah digantikan dengan cinta kepada dunia.

Mentalitas Bal’am, ulama di zaman Fir’aun adalah mentalitas anjing sebagaimana digambarkan di Al-Qur’an. Dihalau dia menjulurkan lidah, didiamkan pun tetap menjulurkan lidah. Bal’am bukannya memihak pada Musa, malah memihak pada Fir’aun. Karena ia menyimpang dari jalur kebenaran, maka ia selalu dibayang-bayangi, didampingi syaithan. Ulama jenis Bal’am tidak mau berpihak dan menyuarakan kebenaran karena lebih suka menuruti hawa nafsu dan tarikan-tarikan duniawi yang rendah.

Kader yang tulus dan bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia. Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian.

Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.

Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.

Nabi Yusuf as sebuah contoh keistiqomahan, ia memilih di penjara daripada harus menuruti hawa nafsu rendah manusia. Ia yang benar di penjara, sementara yang salah malah bebas.
Ada satu hal lagi yang bisa kita petik dari kisah Nabi Yusuf as. Wanita-wanita yang mempergunjingkan Zulaikha diundang ke istana untuk melihat Nabi Yusuf. Mereka mengiris-iris jari-jari tangan mereka karena terpesona melihat Nabi Yusuf. “Demi Allah, ini pasti bukan manusia”. Kekaguman dan keterpesonaan mereka pada seraut wajah tampan milik Nabi Yusuf membuat mereka tidak merasakan sakitnya teriris-iris.

Hal yang demikian bisa pula terjadi pada orang-orang yang punya cita-cita mulia ingin bersama para nabi dan rasul, shidiqin, syuhada dan shalihin. Mereka tentunya akan sanggup melupakan sakitnya penderitaan dan kepahitan perjuangan karena keterpesonaan mereka pada surga dengan segala kenikmatannya yang dijanjikan.

Itulah ibrah yang harus dijadikan pusat perhatian para da’i. Apalagi berkurban di jalan Allah adalah sekedar mengembalikan sesuatu yang berasal dari Allah jua. Kadang kita berat berinfaq, padahal harta kita dari-Nya. Kita terlalu perhitungan dengan tenaga dan waktu untuk berbuat sesuatu di jalan Allah padahal semua yang kita miliki berupa ilmu dan kemuliaan keseluruhannya juga berasal dari Allah.

Semoga kita terhindar dari penyimpangan-penyimpangan seperti itu dan tetap memiliki jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya. Amin.

Wallahu a’lam bis shawab.

Kutbah 'Iedul Adha 1421 H

(Ust.Rahmat Abdullah)

Beberapa kali Ied kita, beberapa kali takbir dimalam dan siang hari raya-hari raya kita dalam beberapa tahun terakhir masih terus diliputi keprihatinan yang sangat dalam. Hari raya ditengah asap dan api ; rumah ibadah, rumah tinggal, pasar dan sekolah yang hangus serta darah yang tertumpah, nyawa yang melayang dan tubuh-tubuh kaku yang terbunuh. Lebih-lebih lagi pahitnya sebagian petinggi dan orang-orang yang diberi amanah oleh ma-syarakat mengesankan sikap mendukung, memaklumi atau me-wajarkan kezaliman. Inna lillahi wainna ilahi raji’un ! Tak ada yang lebih patut bagi para hamba ALLAH yang beriman kecuali semakin menundukkan kepala, merendahkan hati dan mengakui segala dosa, seraya memohon taubat dan ampunan ALLAH


Maka mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri ketika datang siksaan Kami kepada mereka, bahkan hati mereka telah menjadi keras dan syaitanpun menampakkan kepada mereka kebagusan apa yang selalu mereka kerjakan. Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan tiba-tiba, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.

Kisah haji adalah kisah pengorbanan, sama sebagai-mana sejarah qurban itu sendiri. Tidak ada yang dapat menyuburkan iman seorang mukmin sebaik pengor-banan, seperti pupuk menyuburkan tetumbuhan. Seseo-rang yang berjiwa besar sangat sadar bahwa kemuliaan, kepemimpinan dan kebahagiaan tak mungkin diraih tanpa pengorbanan. Ujian merupakan syarat naik jenjang dan ke-pangkatan di hadapan ALLAH dan di tengah ummat manusia. ALLAH berfirman ( 2;124)

Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata: "(Dan saya mohon ju-ga) dari keturunanku". Allah berfirman: "Janji-Ku (ini) tidak mengenai orang-orang yang zalim".

Seberapa besar ujian yang dihadapi para rasul, ulama amilin dan mujahidin ? Cobalah bayangkan satu episode perjalanan nabi Ibrahim AS. Imam Bukhari meriwayatkan :
“…… kemudian Ibrahim membawa isterinya beserta anaknya (Isail AS) yang sedang disusukannya, sampai ia meletakkannya di Baitullah di Dauhah, diatas Zamzam (yang belum lagi muncul kala itu) di bagian masjid yang paling tinggi. Di Makkah waktu itu belum ada manusia dan belum ada air. Ia letakkan mereka disana. Ia bekali mereka dengan sekantung kurma dan sekan-tung air dan segera bergegas pergi. Ummu Ismail mengikutinya sambil bertanya “Wahai Ibrahim, akan kemana kau pergi me-ninggalkan kami di lembah ini tanpa siapa-siapa tanpa apa-apa ?”. Diucapkannya kalimat itu berulang-ulang, namun ia tak juga menoleh. Akhirnya Ummu Ismail bertanya : ALLAH kah yang menyuruhmu melakukan ini ?” Ia menja-wab : “Ya”. Ummu Ismail berkata : “jika begitu, tentulah Ia takkan sia-siakan kami”, kemudian ia kembali dan Ibrahim berangkat. Sesampainya di tsaniyah (jalan tinggi di bukit) tem-pat mereka tak lagi melihatnya, ia hadapkan wajahnya ke Bait Allah, berdoa dengan beberapa kalimat dan mengangkat kedua tangannya :

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebaha-gian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-ta-naman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada me-reka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mu-dahan mereka bersyukur.

Lihatlah, betapa lurusnya keluarga ini memandang perintah ALLAH. Betapa ringannya mereka melaksanakan titah agung i-ni. Mereka utamakan ketaatan daripada kesenangan pribadi. Dari ketiga permintaan, ternyata yang pertama dimintanya agar ketu-runannya menjadi penegak shalat, kemudian untuk menopang da’wah ia minta mereka dicintai ummat manusia, barulah per-mintaan ketiga agar ALLAH memberikan mereka rezki. Padahal keadaan sangat sulit ; tak ada sanak, kerabat bahkan manusia, tak ada air dan sumber makanan. Hanya mereka berdua ; seorang perempuan yang baru melahirkan dan bayi kecil yang baru bebe-rapa belas atau beberapa puluh tahun kedepan diangkat menjadi rasul.

Dimana keluarga modern hari ini dengan keturunan yang sangat terjaga dan tercukupi, bahkan dimanjakan makan minum mereka dibandingkan mereka yang serba kekurangan dan jauh dari kese-nangan ? Lihatlah bedanya keluarga dunia, benda dan nafsu di-bandingkan keluarga akhirat, iman dan akhlaq. Apa yang mam-pu dihasilkan keluarga modern dengan kecukupannya diban-dingkan keluarga para rasul dan orang-orang saleh dalam keku-rangan mereka. Soalnya bukan soal kaya atau miskin, tetapi keterikatan dan kesetiaan mereka kepada ALLAH, seperti sifat para pemakmur masjid dan jamaah kebajikan :

Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat. Mereka takut kepada suatu hari saat hati dan penglihatan menjadi guncang.

Bagaimana para nabi tahan diejek dan dikucilkan, difitnah dan diintimidasi, dibunuh dan diusir dari tanah air, suatu hal yang tak pantas dilakukan terhadap manusia-manusia jujur di tengah bangsanya, yang hewanpun tak pernah mendapat perlakuan zalim dari mereka.

Dari Urwah, dari Aisyah RA, beliau pernah berkata : “Demi ALLAH wahai ananda, pernah kami memperhatikan hilal (bulan sabit), kemudian satu hilal, sampai tiga hilal dalam dua bulan, tak ada api yang menyala di rumah Rasulullah SAW”. Kuberta-nya : ‘Apa yang menghidupimu selama itu ?’ Beliau menjawab : “Air dan kurma. Hanya saja Rasulullah SAW punya tetangga yang memiliki kambing susu, mereka mengirimkan sebagian susunya untuk minuman kami”


Berkata Utbah bin Ghazwan dalam satu khutbahnya : “Sungguh kulihat diriku satu dari tujuh orang sahabat bersama Rasulullah SAW, tak ada lagi makanan pada kami kecuali dedaunan pohon, sehingga bengkaklah kerongkongan kami. Kutemukan sehelai mantel, kubelah dua dengan Sa’d bin Malik, setengahnya kupakai dan setengahnya lagi dipakai Sa’d. Hari ini setiap kami - tanpa kecuali - telah menjadi amir (gubernur) di kota-kota besar. Aku berlindung kepada ALLAH agar tidak menjadi besar dalam pandangan sendiri dan kecil dalam pandangan ALLAH”

Apa yang dipanen sebuah bangsa muslim yang besar ini, saat ba-nyak orang tua hanya berfikir ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah, semoga ia kelak punya kedudukan yang basah bila jadi pejabat, menjadi orang pintar yang dapat kaya dalam waktu singkat atau menjadi santeri yang pandai berceramah sehingga laris dan mudah menghimpun pengikut serta segala kekayaan yang menyusulnya. Betapa rentannya semua ini menghadapi konflik horizontal, saling bunuh, penghancuran dan pembakaran harta sesama, pemanjangan derita rakyat dengan KKN baru, ke-dakpedulian terhadap munculnya berbagai kemunkaran, marak-nya perjudian gelap dan terang, 2 juta mangsa narkoba yang me-lumpuhkan bangsa ini, pelacuran dengan alasan klasik kesulitan hidup.

Sebuah masyarakat adalah cermin keluarga didalamnya. Ke-pemimpinan yang sehat selalu berfikir bagaimana melayani, mengayomi dan mendidik bangsa ke arah kemuliaan. Bukan mencengkeram mereka dengan kejam dengan alasan pendewasa-an, pengamanan atau perlindungan, tidak pula membiarkan me-reka bebas tanpa kendali dengan alasan apapun, baik HAM, de-mokratisasi atau pemberdayaan masyarakat.
Sesungguhnya dari berbagai pensikapan bangsa terhadap para rasul mereka, kita dapatkan pelajaran dan rambu-rambu sangat berharga.
Bila sikap ikhlas, ketundukan diri dan pengorbanan, menjadi jiwa bangsa, maka generasi yang ada akan mendapatkan begitu banyak keberkahan. Lihatlah cermin perempuan terdidik seperti Ummu Ismail AS yang dengan yakin mengatakan : “Idzan la Yudlayyi’ana (Kalau begitu Ia tak akan sis-siakan kami)”. Dari rahim dan asuhan mereka akan lahir generasi Ismail AS yang dengan yakinnya menjawab :
Qs. (37:102) :

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesung-guhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapak-ku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar".

Bila kebodohan dan nafsu telah menguasai kehidupan suatu ma-syarakat, maka mereka lebih suka memilih pola hidup material-listik dan hedonik ; semua demi benda dan kesenangan. Tujuan-tujuan luhur menjadi kabur, nilai dan akhlak mulia menjadi lun-tur, persaudaraan, kasih sayang dan kesetiaan menjadi hancur.
Peran ibu dirumah tangga sangat strategis dalam membentuk bangsa.Bentukan baik atau buruk, amanat atau khianat, iman atau kufur, sangat terkait dengan sikap dan kiprah mereka. Ibu kandung atau ibu nasab, sama-sama mempunyai pengaruh besar dalam da’wah dan pendidikan ;

Allah membuat isteri Nuh dan isteri Luth perumpamaan bagi o-rang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu ke-dua isteri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (sik-sa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); "Masuklah ke ne-raka bersama orang-orang yang masuk (neraka)". Dan Allah membuat isteri Fir`aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: "Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari ka-um yang zalim",

Ibunda nabi Ismail, ibunda kandung nabi Musa yang melahirkan, menyusukan dan merawatnya dan ibunda asuh nabi Musa, yang merawatnya dan aktif membelanya dari berkali-kali rencana pembunuhan oleh Firaun, sejak bayi sampai jadi nabi, semua menunjukkan adanya ta’tsir (pengaruh) berkesinambungan pada anak nasab ataupun anak asuh. Demikian halnya peran pendidik di tubuh bangsa sebagai tanggungjawab para pemimpin dan pe-mimpin tertinggi, bila telah menyimpang dari jalan yang lurus, bersikap seperti isteri nabi Nuh AS yang mengkhianati ajaran suaminya, maka anak-anak bangsa akan menjadi seperti anak nabi Nuh yang menolak bergabung dalam bahtera penyelamat.

Dan bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung. Dan Nuh memanggil anaknya sedang anak itu berada di tempat yang jauh terpencil: "Hai anakku, naiklah (ke kapal) bersama kami dan janganlah kamu berada bersama orang-orang yang kafir." Anaknya menjawab: "Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat memeliharaku dari air bah!" Nuh berkata: "Tidak ada yang melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) Yang Maha Penyayang". Dan gelombang menjadi penghalang antara keduanya; maka jadilah anak itu termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

Kalau hukum, undang-undang dan para penegak hukum begitu keras kepada pelanggar lalu lintas….. Kalau para polisi menang-kap pengendara sepeda motor yang tak menggunakan helm, de-ngan dalih perlindungan batok kepala rakyat, lebih beralasan lagi bila mereka bertindak tegas melindungi isi yang ada dibalik ba-tok kepala itu dari segala yang merusaknya, baik dengan meme-rangi sekeras-keras-nya tayangan, siaran atau penerbitan porno, permissive, atheis, syirik serta takhayul, khurafat dan bid’ah, yang telah menyebab-kan lebih dari dua juta rakyat terutama generasi mudanya berge-limang dalam narkoba perjudian, zina dan berbagai sikap arogan dihadapan ALLAH Rabbul Jalal. Juga memerangi para koruptor yang telah menyengsarakan rakyat di negeri yang kaya raya ini. Kalau kekuasaan, kekayaan dan ber-bagai ni’mat yang dilimpah-kan kepada suatu bangsa, pemerin-tah dan rakyatnya, maka ke-sombongan akan menjadi perhiasan dan kebanggan mereka. Da’wah keabjikan dianggap gangguan, amar ma’ruf nahi mun-kar dianggap makar, karena semua tak suka dihalangi dari aksi bunuh diri massal dalam maksiat yang terlaknat itu. Simaklah komentar bangsa-bangsa dimasa lalu ke-pada para rasul mereka :
Kaum Nabi Luth (7;82/27;56)

Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: "Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri."
Kaum nabi Shalih (11;62)

Kaum Tsamud berkata: "Hai Shaleh, sesungguhnya kamu sebe-lum ini adalah seorang di antara kami yang kami harapkan, a-pakah kamu melarang kami untuk menyembah apa yang disem-bah oleh bapak-bapak kami? dan sesungguhnya kami betul-be-tul dalam keraguan yang menggelisahkan terhadap agama yang kamu serukan kepada kami."
Kaum Musyrikin Quraisy kerabat Rasulu’LLAH Muhammad, Saw.

Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakan-mu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya. (Alanfal 30)

Taqwa telah menjadi kalimat yang begitu gampang diucapkan sembarang mulut, padahal ia adalah sebuah hakekat, bukan kla-im atau akuan, bukan pula pameran dan kepura-puraan. Ketika melihat melimpahruahnya jamaah haji, bertuturlah seorang kha-lifah : “Oh, alangkah sedikitnya orang haji dan alangkah ba-nyaknya wisatawan”. ALLAH mengingatkan tentang hakekat qurban :

Daging-daging dan darah qurban itu sekali-kali tidak dapat mencapai Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW menyatakan :

Dari Abi Hurairah RA, ia berkata : ‘Rasulullah SAW bersabda : “Seorang muslim adalah saudara muslim, ia tak boleh mengkhianatinya, mendustai-nya, menghinakannya. Setiap muslim haram bagi sesama muslim ; kehor-matannya, hartanya, darahnya. Taqwa disini (beliau memberi isyarat ke dadanya). Cukuplah se-seorang (menjadi) jahat karena menghina saudara muslimnya”

Dari Sa’d bin Abi Waqqash RA, beliau berkata : “Akulah orang Arab pertama yang melemparkan tombak di Jalan ALLAH. Sungguh kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW, tanpa punya makanan selain daun hublah dan samur ini. Sungguh kami buang air seperti kotoran domba, tanpa cam-puran” (Muttafaq Alaih, Bukhari Muslim)

Cermin Diri...........

KH Rahmat Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)

Orang-orang bijak pernah berpesan "Ma halaka ‘amru-un arafa Qadra nafsihi" (Tak akan celaka orang yang kenal harkat dirinya). Telah banyak orang binasa karena terlalu tinggi memasang harga diatas realita dirinya. Banyak yang lenyap dari peredaran karena terlalu murah menghargai dirinya – dengan waham ‘tawadhu’ atau perasaan tidak mampu dan tidak punya apa-apa. Selebihnya adalah jenis orang yang berjalan dalam tidur atau tidur sambil berjalan. Tepatnya pengigau berat. Ia tak pernah bisa menyadari dimana posisinya, apa yang terjadi di sekitarnya dan apa bahaya yang mengancam ummatnya.

Dalam kaitan sistem, baik ormas, partai atau pemerintahan kerap terjebak dalam wa-ham-waham kekuasaan ; berbahasa dan bertindak dengan pendekatan kekuasaan. Mereka yang ‘berkuasa’ merasa percaya diri, hanya karena secara de jure punya otoritas atas wilayah territorial, wilayah problematika dan wilayah sumber daya manusia. Bahwa wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah tak dapat ditundukkan begitu saja oleh senjata, uang dan kedudukan, kerap luput dari renungan. Entah karena inikah ketika ALLAH mengaitkan keselamatan dunia dengan keberadaan Ulu Baqiyah (orang-orang yang potensial dipertahankan keberadaannya) dan mengemban misi ‘mencegah kerusakan di muka bumi’, justeru pada saat yang sama mereka yang (berbakat) zalim terus saja mengikuti kecenderungan hedonik mereka dan karenanya mereka menjadi durhaka (Qs. 10;116).


Ghurur Hal terberat yang kau hadapi bukan keraguan, kebencian dan permusuhan orang yang tak mengenalmu. Sekeras apapun hati mereka, kekuatan Hidayah dapat menundukkan mereka kepada kebenaran da’wahmu, dengan idzin-Nya. Bila itu pun tidak, engkau tak akan dipersalahkan, karena tataranmu dakwah dan tataran-Nya hidayah. Cobaan berat, justru pada percaya diri yang tidak proporsional. Engkau nikmati benar sanjungan orang terhadap dirimu atau jamaahmu, padahal engkau sendiri jauh dari kepatutan itu. Malang nasibmu wahai orang yang percaya kepada kejahilan orang yang menyanjungmu, sedangkan engkau sangat terang melihat kekurangan dirimu. Mentalitas Qarun tersimpul dalam satu kalimat "Hadza Li" (Semua ini karyaku, karena aku, milikku).

Ketika arogansi mendominasi hubungan ‘yang adi daya’ dengan ‘yang tak berdaya’, maka yang pertama harus membayar ongkos yang sangat mahal ; dari antipati sampai kutukan mereka yang tak berdaya. Berat menyadarkan orang yang otaknya berjelaga, egois dan hanya melihat apa yang mereka anggap hak, tanpa kesadaran seimbang akan kewajiban. Kepada mereka Imam Syafii menegaskan :

Bila engkau mendekatiku, mendekat pula cintaku Jika engkau menjauh, aku kan lebih jauh darimu Dalam hidup masing-masing kita Tak bergantung dengan saudara Dan kita lebih tidak bergantung lagi bila tamat usia

Orang yang mentah fikiran selalu mengandalkan sanjungan kosong, tak berbasis pada prestasi, atau mungkin mereka berprestasi, namun menganggap itu sebagai hal besar yang memungkinkan mereka memonopoli kebajikan. "Mereka membangkit-bangkit keislaman mereka (sebagai jasa) kepadamu. Katakan : ‘Janganlah kalian bangkit-bangkitkan kepadaku keislamanmu, akan tetapi ALLAH lah yang telah memberi karunia besar dengan membimbing kalian kepada Iman…" (Qs. 49:17)

Sebelum bubarnya Uni Sovyet, ada dua spesies yang sangat dibenci rakyat ; 1. Partai Komunis, 2. etnik Rus. Yang pertama dibenci karena selalu ingin campur dalam segala urusan orang. Dari urusan menteri, tentara, pegawai negeri, isteri pegawai, anak pegawai sampai mimpi-mimpi rakyat. Yang kedua tak tahu diri sebagai mayoritas, bagaikan truk besar yang berlari kencang, anginnya mementalkan kendaraan-kendaraan kecil di tepi jalan.

Cermati bagaimana karakter kekuasaan itu tumbuh. Banyak orang yang berkuasa mengabaikan pengenalan wilayah-wilayah kekuasaan dengan segala karakternya. Pemerintah yang mempunyai otoritas memulainya dengan 3 wilayah : 1. Wilayah ardliyah (teritorial), 2. Wilayah insaniyah (kemanusiaan, SDM, rakyat), 3. Wilayah masailiyah (problematika). Dengan ketiga otoritas ini mereka dapat menggusur tanah rakyat, membagi HPH, menaikkan pajak, tarif, UMR, memainkan money politik, mencetak uang untuk kepentingan partai, membunuh karakter lawan politik dan memenjarakan mereka. Berapa lama mereka dapat berkuasa dengan tiga pilar ini ? Entahlah, yang jelas telah bertumbangan begitu banyak rezim dengan begitu banyak dana, senjata dan tentara. Mereka melupakan 2 wilayah yang sebenarnya pagi-pagi harus sudah dikuasai, bahkan sebelum mereka menguasai wilayah-wilayah lainnya. Jauh sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, rumah-rumah disana sudah menaungi begitu banyak muslim.

Pada penghujung era Makkiyah, baiah Aqabah II telah menyuratkan pesan yang begitu kuat. "Kami siap melindungi Rasulu’Llah SAW, sebagaimana kami melindungi anak-anak dan isteri-isteri kami". Madinah telah dikukuhkan menjadi bumi Islam sebelum para Muhajir berangkat kesana. Rasulullah sudah ditunggu dengan segala kerinduan, sebelum mereka melihat wajahnya. Da’wah Qur-an telah mengakar dalam wilayah ruhaniyah dan wilayah fikriyah mereka, dua wilayah yang pada saatnya melahirkan energi besar, mengalahkan semua penguasa yang hanya berpuas diri dengan tiga wilayah yang serba refleks, fenomenal dan efektif untuk waktu singkat.

Wahan Tak kalah beratnya beban mental orang yang sama sekali tak mampu memberikan kontribusi. Ia sendiri tak mampu membantu dirinya sendiri, bahkan dengan sekedar percaya dan menyadari bahwa dirinya dapat berperan. Paradigma "La syai-a indi" (Saya tak punya apa-apa), telah banyak merugikan ummat. Dari sini orang berbuat, dari kontra produktif sampai amoral. Ia tak merasa ada kaitan sepak-terjangnya dengan lingkungannya. Ia mampu melumuri citranya – sama seperti mereka yang over pede – tanpa cemas hal itu akan berdampak luas, bagi diri, keluarga dan lingkungannya. Mereka banyak memubadzirkan umur dan hidup tanpa program. Rendah diri dan karenanya tak jarang merawat hasad, dengki dan khianat.

Mereka dapat tampil dalam figur seorang alim, publik figur dan apa saja yang ‘mulia’, namun mengabaikan berkah amal jama’i, karena merasa ‘tak sebodoh’ komunitasnya atau lupa bahwa dirinya (dapat menjadi) besar di tengah mereka. Terkadang batas antara orang yang berlebihan percaya diri dengan yang sangat tak percaya diri, begitu sulit dibedakan. Kritik pedas bisa datang dari mereka yang gagal melaksanakan apa yang dikritiknya. Atau yang tak cukup punya keberanian berargumentasi karena kurang pedenya.

Marilah berjabat tangan, ayunkah langkah dengan yakin dan lengkapi kekurangan diri dengan kelebihan saudara atau sebaliknya menopang kelemahan mereka dengan kekuatan diri yang ALLAH amanahkan. Banyak orang bingung mencari lahan kerja dan lahan kerja Da’wah tak pernah tutup.

Dimana posisimu ? Mungkin beberapa kalangan akan keberatan bila kukatakan engkau telah menyulam halaman da’wah di negeri ini dengan benang emas dan menyemaikan benih-benih berkah di lahan tandus, sehingga berubah menjadi ladang-ladang subur masa depan. Pohon keadilan, buah kemakmuran, bunga kesetaraan, ranah kesetiaan dan rumah kasih sayang. Bukan tujuanmu menciptakan iri. Ada yang begitu geram ketika hamba-hamba ALLAH perempuan keluar dari setiap gang dan kampus dengan jilbab mereka yang anggun dan IP mereka yang cemerleng. 20 tahun yang lalu harus keluar dari sekolah negeri yang dibangun dengan uang pajak mereka sendiri. Ya, kebangkitan memang bukan hanya sisi ini, namun banyak kebaikan tersimpulkan pada aspek ini. Intinya ; Perubahan.

Dan hari ini puncak gunung es itu telah memperlihatkan dinamika besar kebangkitan, shahwah yang penuh berkah. Tauhid adalah sistem konstruksi terpadu yang meletakkan segalanya tepat pada tempat, peran dan kepatutannya. Intelektual adalah sistem pengapianmu yang tak pernah padam. Kader-kader yang selalu ikhlas berkorban adalah roda yang siap menjelajah medan-medan berat. Keulamaan adalah sistem kendali-mu yang tahu kapan harus berbelok, menanjak, menurun dan menerobos hutan belantara, padang tandus serta bebatuan. Yang tak bergaransi ialah kondisi jalan, bahkan sekali pun dengan rute yang jelas dan lurus, kendaraan yang teruji, kru yang jujur, pakar dan sabar.

Dari semua setting ini, tentukanlah dimana posisimu ; penonton yang mencari hiburan, penunggu yang tak punya empati, atau pengharap kegagalan karena ada yang tak sejalan dengan persepsi mereka. Atau penuntun dan pengikut dengan pengenalan sistem navigasi yang akurat dan keyakinan yang mantap, bahwa laut tetap bergelom-bang dan di seberang ada pantai harapan

Kedunguan Kasta dengan Komitmen Perjuangan

KH Rahmat Abdullah (Ketua MPP Partai Keadilan)

Pada suatu hari lewatlah seseorang di depan Rasulullah SAW. Beliau bertanya kepada seseorang disampingnya: "Bagaimana pendapatmu tentang orang ini?" Orang itu menjawab: "Ia lelaki golongan terhormat. Demi ALLAH, seandainya meminang pastilah diterima dan bila memberi pembelaan pasti dikabulkan". Lalu Rasulullah SAW berdiam. Kemudian melintaslah seseorang. Rasulullah bertanya kepada orang yang disampingnya tadi: "Bagaimana pandanganmu tentang orang ini?" Ia menjawab: "Ia muslim yang faqir. Bila meminang pantas ditolak, bila memberi pembelaan takkan didengar pembelaannya dan bila berbicara takkan didengar ucapannya". Rasulullah SAW bersabda : "Sepenuh bumi ia lebih baik daripada orang tadi (yang pertama)" (HSR Muslim).


Ketika Da’wah ini muncul dan eksis dalam waktu yang sangat singkat, ia telah menyata-kan jatidirinya dengan jelas. Ia adalah kemenangan bagi siapa saja yang mau berjuang, tidak peduli anak siapa dan berapa kekayaan bapaknya. Ia tidak peduli penolakan Bani Israil paska nabi Musa AS ketika nabi mereka menyatakan bahwa Thalut yang miskin telah dipilih ALLAH untuk menjadi pemimpin mereka (Qs.2:247). Ia tidak juga meman-jakan ‘kesombongan intelektualisme’ kaum nabi Nuh AS yang mencap Nuh hanya diikuti oleh ‘orang-orang rendah, yang dangkal fikiran’ (aradziluna. badia’r ra’yi, tidak kritis, Qs. 11:27). Bahkan ia pun tak sungkan-sungkan menegur keras nabinya karena ‘logika prioritas’ yang dibangunnya menyebabkan Abdullah bin Ummi Maktum ‘nyaris tertinggal’. Alqur-an menyebutkan "Ia telah bermasam muka dan berpaling, ketika datang kepadanya hamba yang buta……" (Qs. 80:1-2).

Siapa yang tak kenal keutamaan keempat khalifah dan beberapa tokoh legendaris di ka-langan para sahabat? Namun, carilah dimana nama mereka terpampang dan bukan hanya sifat, selain Zaid, RA (Qs.33:37) ? ‘Kelas’ inilah yang diakui sebagai kekuatan yang dengan mereka "kalian diberi rezki dan dimenangkan". (HSR Bukhari)

Pungguk Mengaku Duduki Bulan Demi kepentingan mereka, bahkan Dzulqarnain mengoreksi salah kaprah yang merugikan mereka sendiri. "… mereka berkata: "Wahai Dzulqarnain, maukah Engkau kami beri upeti, agar mau membangunkan tembok (benteng) yang dapat melindungi kami dari (serangan) mereka?" Ia menjawab; "Kedudukan yang ALLAH telah berikan kepadaku itu lebih baik. Cukuplah kalian membantuku dengan kekuatan, aku bangunkan benteng yang kuat, memisahkan antara kamu dan mereka" (Qs.18:94-95).

Tanpa pembinaan dan penataan yang benar kelas ini akan menjadi kekuatan destruktif yang dikendalikan tangan-tangan berdarah. Dendam kemiskinan kerap membuat orang melahap fatamorgana. Mereka melahap tuduhan bahwa masyarakat tak peduli kepada derita mereka, lalu menyambut lambaian para penipu yang akan menunggangi mereka. Kalau para kader hanya mencemooh dari jauh kelicikan para tengkulak yang memperdagangkan kemiskinan dan melahap begitu banyak hak masyarakat miskin, tetaplah roda kemenangan berpihak kepada angkara murka.

Banyak orang kaya baru (OKB) berlomba-lomba memamerkan kekayaan mereka dan po-litisi dari partai-partai baru yang mencaci-maki partai tiran dan korup sebelumnya. Tetapi ajaib, mereka menjadi begitu norak, kemaruk dan lebih ‘ndeso’ dari para pendahulu.. Orang kaya merambat tak perlu waktu adaptasi. Orang kaya mendadak benar-benar perlu belajar membawa diri. Tetapi orang kaya turunan dan orang kaya mendadak sama-sama perlu memahami dan mengingat kembali kemiskinan, betapa pun pahit.

Kader yang menyikapi jabatan yang diterimanya lebih sebagai amanah dari pada kehormatan, akan dengan cepat belajar menyesuaikan diri dan memahahami karakteristik tugas dan tantangannya. Bawahan yang lebih pandai, diakuinya dan didorongnya untuk cepat menggapai posisi yang lebih sesuai. Mereka berendah hati, karena memang tak takut jatuh dengan merendah. Sebaliknya mereka yang bagaikan senior perpeloncoan yang kerap bermasalah dalam IP mereka, sering menampakkan gejala ketakutan ‘disaingi’.

Perasaan berkasta tinggi. Melecehkan orang yang mereka anggap berkasta lebih rendah. Menelikung siapa saja yang di luar koneksi. Mengkoptasi semua demi keharuman citra diri. Memecahkan masalah dengan menyalahkan orang lain. Melapor segalanya beres tanpa ada yang dibereskan.

Hal paling berat bagi kader yang berorientasi kekuasaan atau dunia ialah usaha untuk mendengarkan dan memahami. Mereka lebih suka didengar, difahami dan dimaklumi. Tak ada kemajuan dalam prestasi kecuali seni membuat-buat alasan. Karena otak tak bekerja kerap, mereka lebih suka menggunakan lutut. Muncullah kader-kader ‘gagah’ dengan mengimitasi tampilan serdadu, bukan meningkatkan etos, disiplin dan kehormatan jundi sejati. "Army Look" adalah kebanggaan mereka yang ingin diterima tanpa harus mengajukan dalil, yang penting orang takut dan nurut.

Kader Sejati Pepatah lama menyadarkan kita betapa pentingnya mendengar. "Ta’allam husna’l Istima’ kama tata’allam husna’l Hadits" (Belajarlah cakap mendengar sebagaimana engkau be-lajar untuk pandai bercakap).

Para ‘penjaja’ Fasad telah begitu lihai menggeser cita-rasa masyarakat. Mereka membentuk identitas ABG dengan segala asesori termasuk bahasa. Mereka bentuk mental attitude-nya sendiri dan bahasa gaulnya sendiri. Seluruh sasaran bahasa adalah penjungkirbalikan kemapanan. Dan agama adalah bagian yang dianggap kemapanan.

Bahasa fasad lebih fasih dari pada bahasa Islah. Ada bahasa gaul untuk remaja, ada bahasa gaul untuk tua-bangka dan ada bahasa gaul untuk preman, morfinis dan kriminal lainnya.

"’Ala Man Taqra’ Zabura ?!" (Kepada siapa Anda Bacakan Zabur?), adalah sindiran tajam bagi da’i yang asyik menyusun kata dan menikmatinya sendiri, tanpa peduli apakah komunikannya dapat mengerti. Dalam pertarungan memperebutkan pendukung, ada kekuatan berhasil meyakinkan calon pendukungnya dengan idiom-idiom tipuan yang memukau rakyat. Ada yang dengan jujur meneriakkan visi dan misi mereka, tetapi tidak cukup sampai ke telinga batin mereka.

Banyak kondisi menipu (Zhuruf Muzayyafah), yang kerap membuahkan kekecewaan. Sesudah iman, ikhlas dan pengenalan konsep serta medan, kemampuan transformasi fikrah dan menangkap gejolak arus bawah mutlak perlu dipertajam. Pesan-pesan penyampaian dengan berbagai pendekatan, patut dibiasakan; 1. Khathibu’n Nas ala Qadri uqulihim (Serulah masyarakat sesuai dengan kadar akal mereka), 2. Khathibu’n Nas bilughati qaumihim (Serulah masyarakat dengan bahasa kaum mereka), 3. Anzilu’n Nas manazilahum (Dudukkan masyarakat menurut kedudukan mereka).

Karena da’wah bukanlah obral candu, perlu diuji ulang, cukup tajamkah telinga ini men-dengar krucuk perut yang hanya berisi angin. Cukup sensitifkah mata memandang seorang akh yang membisu dalam kelaparannya yang sangat dan isterinya yang gemetar menanti rizki yang datang dengan sabar. Masihkah ada waktu muhasabah sebelum tidur, menyusuri wajah demi wajah, adakah yang belum tersantuni. Atau menelisik kader yang hanya diberi sanksi, tanpa seorang pun tahu, tiga hari ini ia tak punya tenaga karena sama sekali tak dapat makanan.

Ini mozaik kehidupan kita yang harus ditata menjadi serasi dan harmoni. Malang nasib dia yang mati rasa, nyinyir menyindir kesengsaraan saudara sebagai buah kemalasan, seraya menghabiskan bertalam-talam makanan yang tak dapat lagi memenuhi rongga perutnya. Bagaimana ia dapat memahami gelombang besar rakyat jelata yang bagai singa terluka, menanti kapan saatnya menerkam dengan penuh murka.

Cahaya Di Wajah Ummat

KH. RAHMAT ABDULLAH Ketua MPP Partai Keadilan

Dalam satu kesatuan amal jama’i ada orang yang mendapatkan nilai tinggi karena ia betul-betul sesuai dengan tuntutan dan adab amal jama’i. Kejujuran, kesuburan, kejernihan dan kehangatan ukhuwahnya betul-betul terasa. Keberadaannya menggairahkan dan menenteramkan. Namun perlu diingat, walaupun telah bekerja dalam jaringan amal jama’i, namun pertanggungjawaban amal kita akan dilakukan di hadapan Allah SWT secara sendiri-sendiri.

Karenanya jangan ada kader yang mengandalkan kumpulan-kumpulan besar tanpa beru-saha meningkatkan kualitas dirinya. Ingat suatu pesan Rasulullah SAW: Man abtha-a bihi amaluhu lam yusri’ bihi nasabuhu (Siapa yang lamban beramal tidak akan dipercepat oleh nasabnya ).


Makna tarbiah itu sendiri adalah mengharuskan seseorang lebih berdaya, bukan terus-menerus menempel dan tergantung pada orang lain. Meskipun kebersamaan itu merupakan sesuatu yang baik tapi ada saatnya kita tidak dapat bersama, demikian sunahnya. Sebab kalau mau, para sahabat Rasulullah SAW bisa saja menetap dan wafat di Madinah, atau terus menerus tinggal ber-mulazamah tinggal di masjidil Haram yang nilainya sekian ra-tus ribu atau di Masjid Nabawi yang pahalanya sekian ribu kali. Tapi mengapa makam para Sahabat tidak banyak berada di Baqi atau di Ma’la. Tetapi makam mereka banyak bertebaran jauh, beribu-ribu mil dari negeri mereka.

Sesungguhnya mereka mengutamakan adanya makna diri mereka sebagai perwujudan firman-Nya: Wal takum minkum ummatuy yad’una ilal khoir. Atau dalam firman-Nya: Kuntum khoiro ummati ukhrijat linnasi (Kamu adalah sebaik-baiknya ummat yang di-tampilkan untuk ummat manusia. Qs. 3;110). Ummat yang terbaik bukan untuk disem-bunyikan tapi untuk ditampilkan kepada seluruh ummat manusia. Inilah sesuatu yang sangat perlu kita jaga dan perhatikan. Kita semua beramal tapi tidak larut dalam kesendirian. Hendaklah ketika sendiri kita selalu mendapat cahaya dan menjadi cahaya yang menyinari lingkungan sekitarnya.

Jangan ada lagi kader yang mengatakan, saya jadi buruk begini karena lingkungan. Mengapa tidak berkata sebaliknya, karena lingkungan seperti itu, saya harus mempenga-ruhi lingkungan itu dengan pengaruh yang ada pada diri saya. Seharusnya dimanapun dia berada ia harus berusaha membuat kawasan-kawasan kebaikan, kawasan cahaya, kawas-an ilmu, kawasan akhlak, kawasan taqwa, kawasan al-haq, setelah kawasan-kawasan tadi menjadi sempit dan gelap oleh kawasan-kawasan jahiliyah, kezaliman, kebodohan dan hawa nafsu. Demikianlah ciri kader PK, dimanapun dia berada terus menerus memberi makna kehidupan. Seperti sejarah da’wah ini, tumbuh dari seorang, dua orang kemudian menjadi beribu-ribu atau berjuta-juta orang.

Sangat indah ungkapan Imam Syahid Hasan Al Banna, "Antum ruhun jadidah tarsi fi ja-sadil ummah". Kamu adalah ruh baru, kamu adalah jiwa baru yang mengalir di tubuh ummat, yang menghidupkan tubuh yang mati itu dengan Al-Qur’an.

Jangan ada sesudah ini, kader yang hanya mengandalkan kerumunan besar untuk mera-sakan eksistensi dirinya. Tapi, dimanapun dia berada ia tetap merasakan sebagai hamba Allah SWT, ia harus memiliki kesadaran untuk menjaga dirinya dan taqwanya kepada Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri maupun dalam keadaan terlihat orang. Kemana-pun pergi, ia tak merasa kesunyian, tersudut atau terasing, karena Allah senantiasa ber-samanya. Bahkan ia dapatkan kebersamaan rasul-Nya, ummat dan alam semesta senanti-asa.

Kehebatan Namrud bagi Nabi Ibrahim AS tidak ada artinya, tidaklah sendirian. ALLAH bersamanya dan alam semesta selalu bersamanya. Api yang berkobar-kobar yang dinya-lakan Namrud untuk membinasakan dirinya, ternyata satu korps dengannya dalam menu-naikan tugas pengabdian kepada ALLAH. Alih-alih dari menghanguskannya, justeru ma-lah menjadi "bardan wa salaman" (penyejuk dan penyelamat). Karena itu, kader sejati yakin bahwa Allah SWT akan senantiasa membuka jalan bagi pejuang Da’wah sesuai dengan janji-Nya, In tansurullah yansurukum wayu sabit akdamakum (Jika kamu meno-long Allah, Ia pasti akan menolongmu dan mengokohkan langkah kamu)

Semoga para kader senantiasa mendapatkan perlindungan dan bimbingan dari Allah SWT ditengah derasnya arus dan badai perusakan ummat. Kita harus yakin sepenuhnya akan pertolongan Allah SWT dan bukan yakin dan percaya pada diri sendiri. Masukkan diri kedalam benteng-benteng kekuatan usrah atau halaqah tempat Junud Da’wah melingkar dalam suatu benteng perlindungan, menghimpun bekal dan amunisi untuk terjun ke arena pertarungan Haq dan bathil yang berat dan menuntut pengorbanan.

Disanalah kita mentarbiah diri sendiri dan generasi mendatang. Inilah sebagian pelipur kesedihan ummat yang berkepanjangan, dengan munculnya generasi baru. Generasi yang siap memikul beban da’wah dan menegakan Islam. Inilah harapan baru bagi masa depan yang lebih gemilang, dibawah naungan Alqur-an dan cahaya Islam rahmatan lil alamin.