Unda

Rabu, 04 Agustus 2010

KH. Rahmat Abdullah (Ketua Majelis Syuro PK): "Saya Ingin Lebih Banyak Menggali Ilmu dan Menyebarkan Dakwah Ini"

Bawaannya yang teduh dan khusyu', kadang diselingi canda selalu menjadi ciri khasnya. Di tengah usianya yang sudah 'sepuh', ustadz asli Betawi ini tetap bersemangat menda'wahkan Islam. Beliau ingin agar ada tunas-tunas muda PK yang menggantikan dirinya. Kepada Suara Keadilan Al-Ustadz Rahmat Abdullah menuturkan kisah hidupnya. Selamat menyimak !

Bisakah diceritakan aktifitas sehari-hari ustadz?


Selain ibadah harian rutin, biasanya saya membaca. Dan itu tak bisa ditawar-tawar. Apa saja ; buku, majalah, surat kabar, internet/e-mail, Alqur-an dengan tafsirnya, hadits dengan syarahnya. Urusan rumah tangga, biasanya saling bantu. Dari menyiapkan sarapan anak-anak sampai ganti bola lampu yang kadang dalam setahun bisa sampai setengah lusin pertitik mata. Ini listerik Indonesia, sebelum dan sesudah masuknya modal Soros. Selain itu kegiatan da’wah ; mengisi tabligh di masjid-masjid lingkungan, masjid kantor dan kampus, atau pengajian rutin khsusunya di masjid Alqalam Islami Center IQRO’ tempat saya bermukim.Biasanya dengan modul atau baca kitab. Sepekan dua hari @ 4 jam pelajaran saya mengisi di kelas SLTPI Terpadu IQRO’. Lepas subuh sampai jam 08.00 harus melayani penelepon, yang kalau saya keluar sebelum fajar, biasanya mereka kejar pada malam harinya atau langsung ke HP. Temanya dari permintaan berceramah, fatwa, konsultasi jodoh & keluarga termasuk problem inter relasi dan krisis Samara (sakinah, mawaddah & rahmah).


Soal riwayat pendidikan gimana ustadz?

Disamping SDN, seperti umumnya generasi saya, pagi mengaji (Bacaan Al-qur-an, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz. Tahun 1966 lulus SD yang tahun ajarannya diperpanjang ½ tahun, gara-gara peristiwa G-30-S/PKI, kemudian masuk SMP. Keluar lagi karena ironi, koq sementara aktif demonst rasi KAPPI & KAMI/angkatan 66, hari Jum’at sekolah masuk pukul 11.30. shalat Jum’atnya bagaimana. Permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/68 ?) masuk Ma’ahid Assyafiiyah. Hasil test dan interviu, saya harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Coba-coba lobby seorang ustadz, test ulang dan naik jadi kelas III. Ini tahun yang sangat berbekas. Ikut mengaji pada seorang ustadz senio MTs. yang sangat streng berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab, eh, ternyata tak lama sesudah itu guru kelas saya sama-sama mengaji disana. Tahun ini sampai kelas V (naiknya loncat kelas), berkat ilmu nahwu dasar, terkuaklah misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, radio RI untuk siaran ke dua Arab, yang selama ini saya dengar di rumah, karena ayah sangat mementingkan komunikasi dan informasi, yang karenanya berusaha punya radio yang sebenarnya jadi status symbol orang-orang kaya zaman itu, betapapun beliau miskin. Kelas V langsung ujian dan melanjutkan di Mts. Assyafiiyah. Di Madrasah Tsnawiyah sudah diajarkan ushul fiqh, mustalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, disamping materi-materi standar lainnya ; nahwu, sharf, balaghah. Kegiatan lain ialah kegiatan talaqqi, biasanya kajian langsung dengan para masyaikh/kiayi. Pada dasarnya kerja keras menggali dan meneliti merupakan faktor dominan sesudah taufiq dan hidayahnya. Tanpa mengurangi hormat dan respek kepada mereka yang telah berjasa, kiranya tanggungjawab ilmiah dan amaliah harus kita berikan langsung sendirian di hadapan ALLAH saat pendengaran, penglihatan dan hati dimintai pertanggungjawaban atas kerja mereka.

Kabarnya pertemuan ustadz dengan istri punya cerita tersendiri?

Kadang kita melihat sesuatu bertahun-tahun tanpa mengerti apa maknanya bagi kehidupan kita kelak. Ia adalah mosaik ingatan sejarah yang belakangan tersusun sesudah rumah tangga terbangun. Tidak ada yang istimewa bagi ingatan sejarah seorang santeri kelas II Mts. yang mengasah ilmunya dengan mengajar, ketika seorang siswi kelas I M.Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun) ditemukannya laik menjadi nominator juara I untuk praktek ibadah (shalat). Dan tahun-tahun terlewatkan sudah. Ketika keluarga ini – tanpa sadar dan semata-mata hormat mereka kepada aktifis da’wah dan pendidikan - menjadi semacam kahfi perlindungan dalam suasana represif yang berat (saya beberapa kali diwonted untuk urusan yang sekarang jadi sangat menggelikan). Ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga, barulah tersadari usia sudah memasuki tahun ke 32. Malam itu, malam Kamis 14 Ramadlan 1405 H. (1984 M), bertiga ; saya, ibunda dan bibi datang mengkhitbah. Seorang ustadz yang jadi juru bicara keluarga calon isteri menawarkan gagasan rada aneh. Ketika saya ajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah SAW. dikatakannya, itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti pilihan ini. Maksudnya, untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadlan. Ini bukan khurafat, nujum atau takhayul, melainkan tafaul. Di kalangan generasi da’wah kala itu, sikap separatisme batin sangat terasa dan mempengaruhi gerak lahir. “Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje”. Bah, ini rada-rada ketemu. Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadlan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, ini mau kemana sih ? Belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam dan paginya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Lucu juga, mertua usul agar isteri diajak juga keliling berbagai kota di Jawa untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah.

Bagaimana kiat ustadz mendidik istri dan anak ditengah kesibukan yang melimpah? Menanamkan tsiqah (keyakinan) bahwa da’wah bukan kerja main-main. Sedikit apapun waktu yang tersisa untuk mereka selalu harus bermakna dan menjadi kompensasi kehilangan itu. Tidak ada dusta walaupun hanya untuk menenangkan seseorang yang gelisah. Kalau ada janji dengan mereka yang terpaksa dibatalkan, itu harus difahami sebagai pengorbanan bagi hal yang lebih penting dari sekedar keperluan mereka. Efeknya memang lumayan. Anak-anak tidak akan membiarkan orangtuanya punya kesempatan mengganti tidur yang kurang saat telepon berdering atau tetamu datang. Mereka tidak punya jawaban : “Tunggu ya, Abi capek/ngantuk, tidur dulu”. Sejak awal isteri mendapatkan wawasan bahwa bagi seorang da’i, baca koran atau majalah itu bagian dari kerja, seperti para buruh dan pegawai itu bekerja di kantor dan lapangan kerja mereka. Jadi tak boleh dianggap sedang ‘nganggur’ (mungkin dulu buah anggur itu dikenal masyarakat Melayu dari penjajah mereka tanpa bisa menjangkaunya, karena harganya amatlah mahal. Karenanya memimpikan makan anggur memang tak pernah menghasilkan apa-apa kecuali khayalan, berbeda dengan makan kecapi yang tiap waktu boleh dipetik, bahkan asal timpuk). Imbangannya, mereka punya hak untuk kumpul bersama (sayang belum terjadwal secara rutin). Hal utama yang harus disemai ialah iman, harapan, kejujuran, persaudaraan & kepedulian. Anak-anak lahir dengan bawaan yang berbeda. Semua mereka harus punya tempat di hati ayah-ibu mereka. Terkadang muncul kecemasan atas perbedaan-perbedaan ini. Betapa tidak, ada anak yang marahnya serius ketika tidak dibangunkan sahur Senin atau Kamis sampai lemah semangatnya hari itu. Sementara ada yang masih perlu terus diingatkan untuk disiplin shalat. Dari sini kami belajar bagaimana menjadi arif bijaksana dan sabar. Arif untuk bisa memahami kegelisahan, ketakutan, keterasingan, harapan, kegembiraan dan kegembiraan mereka, dengan parameter dan modal pengalaman mereka yang hijau. Bijaksana untuk mengkomunikasikannya dengan bahasa mereka. Sabar untuk tidak menghakimi mereka seperti menghakimi orang dewasa yang bahkan kerap lebih beruntung mendapatkan pembenarana-pembenaran atas pelanggaran mereka dibanding anak-anak. Banyak teori pendidikan yang terus dicoba, namun satu hal yang tak boleh dicoba-coba ; doa. Bila doa seorang muslim untuk saudaranya yang jauh atau di luar pengetahuannya (Addu’a bi zahri’l ghaib) itu dijamin terkabul dan malaikat mengaminkan serta mendoakan si pendoa, betapakah doa seorang ayah untuk kebaikan mereka tidak demikian ? Kalau kita mendapatkan larangan untuk membaca Alqur-an dalam ruku’ dan sujud, tentu tidak demikian dalam mengutip doa-doa Alqur-an. Karenanya, sudah bukan sekedar hafal, tetapi jadi refleksi kata untuk mengulangi doa dalam Qs. 46;15/ 25;74/14;40-41) dalam berbagai situasi, khususnya dalam sujud malam yang tak seberapa itu.

Selepas Munas I, bagaimana perasaan ustadz setelah terpilih jadi Ketua MS?

Cuma pindah ruang, tanggungjawab da’wah satu dengan variasinya masing-masing. Semuanya berjalan dengan prinsip “Wattaqu’LLAH wa yu’allimukumu’LLAH” (bertaqwalah kamu kepada ALLAH dan nanti ALLAH akan ajarkan kamu/Qs. 2;282). Selalu terbayang ungkapan sahabi Sa’d bin Waqash RA, sesudah melewati masa-masa sulit diantaranya bertujuh bersama Rasulu’LLAH SAW dalam sebuah perjalanan jihad, tanpa makanan tanpa selimut dan mereka hanya dapat makan rumpun padang pasir. Saat ketujuh sahabat tersebut masing-masing sudah menjadi amir atas suatu negeri, ia berkata : “Aku berlindung kepada ALLAH, agar jangan menjadi besar di mataku dan menjadi kecil di Mata ALLAH”

Bisa diceritakan bagaimana sampai bisa terpilih jadi ketua MS?

Mengalir begitu saja, tak pernah mimpikan posisi ini. Bahkan nyaris terlupa-kan, seperti sudah terjadi berabad-abad.

Apa harapan setelah terpilih jadi Ketua MS?

Dapat segera meratifikasi produk-produk konstitutif partai yang menjadi acuan kerja dan memudahkan aplikasinya, sehingga ummat lebih banyak lagi menda patkan berkah. Kemudian tumbuh suasana kerja yang lebih kondusif, kader yang lebih sensitif dan terampil serta lembaga yang bergerak sesuai alur, peran, wewenang dan tanggungjawabnya. Hal lain yang sangat saya rindukan,segera disusul dan digantikan oleh kader-kader yang lebih muda. Saya ingin lebih banyak menggali ilmu dan menyebarkannya serta menyemarakkan da’wah ini. Lorong-lorong, gubug-gubug ummat, derak dan dentaman roda dan gerbong KA, ayunan ombak laut, kesunyian angkasa, kawasan-kawasan nun jauh, lembaran-lembaran majalah dan buku yang harus dibaca dan ditulis dan wajah-wajah penuh harapan kader-kader muda bangsa adalah nafas kehidupan yang mungkin lebih akrab. Harus tampil lebih banyak lagi kader yang sarat dengan nilai-nilai langit, khusyu dan tawadlu’ dalam haq, tidak kemaruk jabatan dan norak bila jadi pejabat tinggi, tangkas terampil membela ummat dan kaya dalam berbagai variasi solusi masalah-masalah mereka. Sejak remaja selalu berkibar obsesi khas disamping kegiatan lapangan, yaitu menyambung mata rantai tradisi kajian lama. Ini adalah keprihatinan para ulama amilin akan langkanya kader yang tekun di bidang kafaah (skil) syar’iyah. Sarjana pengangguran sudah banyak, tetapi adik-adik mereka tetap menuju kubangan yang sama. Kapan ada wali murid atau siswa sendiri yang punya obsesi mendalami kitab-kitab klasik. Orang ributkan biaya pendidikanyang mahal. Lesehan baca kitab adalah pendekatan murah, meriah dan (lebih) berkah.

Apa program yang sudah dilaksanakan oleh MS?

Di Munas, Majelis Syura memilih Ketua, Wakil Ketua dan sekretaris Majelis Syura, Presiden, Sekjen, ketua-ketua Dewan Pimpinan Pusat, Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris Majelis Pertimbangan Partai, Ketua dan wakil Ketua Dewan Syariah. Sidang majelis Syura 24-25 Juli 2000 berhasil meratifikasi AD/ART, Kebijakan Dasar Partai, Forum Pengambilan Keputusan, sebagai amanah Munas.

Apakah PK tetap akan dipertahankan dan ikut Pemilu 2004?

Dari pihak internal PK sendiri tentu. Soal eksternal, lihat aturan mana yang akan disahkan (baca ; dimenangkan). Bila kiblatnya menang-menangan, maka partai dengan perolehan suara banyak akan berusaha menjegal, apa lagi keberadaan PK jadi cermin yang menyilaukan mata. Aib KKN mudah kentara mengkhianati bangsa tak nyaman lagi. Tetapi bila mereka berkiblat pada asas amanah, keadilan dan kebenaran, semua kepentingan tersebut pastilah ditinggalkan.

Tanggapan ustadz tentang kondisi Indonesia saat ini dan apa penyebabnya?

Inilah puncak krisis terburuk. Ancaman diintegrasi, konflik & krisis moral ; vertikal & horizontal. Vertikal dengan buruknya kinerja pemerintahan. Bangsa yang kaya SDM ini gagal mencetak kader. Pepimpin terdahulu telah mengotori putera-puteri terbaik bangsa dengan KKN sehingga selalu kena ranjau diskualifikasi untuk maju ke arena. Sukar mendapatkan legitimasi. Horizontal begitu mudah timbul benterokan antar etnik atau bahkan sekedar tetangga. Dulu istilah guru dan pelajar sangat mengesankan. Sekarang melihat kumpulan pelajar, masyarakat jadi ngeri akan jadi tawuran massa. Semua berhulu pada materi. Untuk sekedar kesenangan orang bisa jual kehormatan dan iman. Barangsiapa yang punya bashirah akan melihat jiwa yang menangis tersayat perih pada diri pelajar yang mengecat baju mereka, merobek lutut jeans mereka, menari latar dengan dandanan norak, menggoda eksekutif muda di malmal, terlibat jaringan narkoba. Demikian pula pada buruh yang dihina dan tak mendapatkan hak-hak, termasuk untuk shalat dengan aman dan nyaman di tempat kerja mereka.

Lantas solusinya bagaimana? Mungkinkah Indonesia akan bangkit lagi?

Pada saat Thariq bin Ziad menginjak tanah Andalus dan segera memusnahkan kapal-kapal, kepada pasukan ia ajukan dua kata kunci : “Kejujuran dan kesabaran”. Indonesia tidak lebih sulit daripada Thariq dan pasukannya, yang seperti ia sendiri sifatkan ‘lebih hina daripada anak-anak yatim di pesta pora kaum durjana’. Karena para pemimpinnya mayoritas muslim, maka sudah saatnya kembali kepada Islam dan berhenti mempermainkan dan memphobikan agama. Semua solusi pernah dicoba, kecuali solusi Islam. Ibarat pedagang obat, ummat Islam diancam tak boleh menjajakan obatnya. Tanpa tes, tanpa bukti lapangan, mereka katakan obat Islam itu kuno, tak mempan dan beracun. Padahal Indonesia dan dunia di hampir sepenuh abad 20 ini telah menyaksikan ketidak becusan berbagai obat, bahkan kandungan racunnya sudah menghancurkan bangsa-bangsa. Yang otoriter telah memangkas begitu banyak potensi dan yang liberal telah membiarkan manusia meluncur atas nama hak asasi.

Bagaimana menurut ustadz kriteria seorang pemimpin (presiden) di Indonesia?

Ia harus dekat dengan tuhannya dan dekat dengan rakyatnya. Tidak harus seorang presiden itu sufi dalam gambaran awam, karena kesufiannya cukup dengan kecakapan memimpin tim dan mendeteksi dengut nadi rakyat. Ia tak boleh membohongi rakyat dengan membiarkan mitos berkembang sekitar dirinya, apa lagi sengaja membuat-buat mitos. Idealnya seperti kriteria Alqur an : kuat, amanat (28;26), pemelihara, penampung aspirasi, visioner (12:55), santun dan kasih (9;128). Dayyuts tak pantas jadi presiden, bahkan jadi suami dan bapak sekalipun. Mereka Cuma bisa menyenangkan rakyat dengan memberikan kebebasan semu. Diperlukan tangan besi dan hati salju pada tempat yang tepat. Bila melenceng, rakyat jadi anarki, harakiri, rendah diri, pendendam, apatis dan pemeras. [imn]

[pks.or.id]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar