Unda

Kamis, 19 Agustus 2010

Syaikhut Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah: "Ikhwanul Muslimin Inspirasi Gerakan Tarbiyah"


Usianya belumlah setengah abad. Tapi pembawaannya yang tenang kebapakan serta rambut dan janggutnya yang sebagian telah memutih, mengesankan pria kelahiran Jakarta, 3 Juli 1953 ini lebih tua dari usia yang sebenarnya. Sehingga cukup pantas bila ia kerap dituakan dan disegani oleh lingkungan pergaulannya.

Dalam publikasi acara Seminar Nasional "Tarbiyah di Era Baru" di Masjid UI, Kampus UI Depok, awal bulan lalu, ustadz keturunan Betawi ini ditetapkan sebagai pembicara utama (keynote speaker) serta disebut sebagai Syaikhut Tarbiyah; sebuah jabatan yang belum populer di telinga masyarakat, termasuk di kalangan aktivis da'wah dan harakah (pergerakan) selama ini.
Ketika dikonfirmasi Sahid tentang jabatan tersebut, sambil tersenyum dan merendah Rahmat membantahnya. Menurut Ketua Yayasan Iqro' Bekasi ini sebutan tersebut hanyalah gurauan panitia yang kebetulan telah akrab dengannya. Rahmat sempat mengajukan keberatan kepada panitia, tapi ternyata publikasinya sudah terlanjur disebar. Akhirnya ayah dari tujuh putra-putri ini cuma bisa balik bergurau, "Adik-adik mau nyindir bahwa saya sudah kakek-kakek ya? Syaikh itu kan dalam bahasa Arab artinya kakek."


Boleh jadi jabatan Syaikh Tarbiyah itu, seperti diakuinya, cuma gurauan atau sindiran panitia. Tapi banyak orang percaya sejatinya suami Sumarni HM Umar ini memang orang yang dituakan dalam gerakan yang bernama Tarbiyah. Apalagi mengingat di kepengurusan Partai Keadilan (PK) Rahmat memegang amanat sebagai Ketua Majelis Syuro dan Ketua Majelis Pertimbangan Partai. Seperti dimaklumi, PK didirikan dan disokong oleh para kader Tarbiyah.

Dalam seminar nasional yang dihadiri ribuan aktivis dan simpatisan Tarbiyah, Rahmat mengawali acara dengan orasi bertajuk "Kilas Balik 20 Tahun Tarbiyah Islamiyah di Indonesia dan Langkah Pasti Menyongsong Masa Depan." Dalam kesempatan tersebut dicanangkan tahun 1422 H ini sebagai tahun kebangkitan Tarbiyah Islamiyah di Indonesia.

Dalam kancah pergerakan Islam di Indonesia, nama gerakan Tarbiyah belum populer di kalangan masyarakat awam. Kata tarbiyah lebih biasa dilekatkan orang pada Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), sebuah ormas Islam yang berbasis di Sumatera Barat dan pernah menjadi partai Islam.

Namun bagi orang yang akrab dengan gerakan da'wah kampus, tidaklah merasa asing dengan sebutan itu. Di era '80-an dan '90-an gerakan ini kerap juga disebut Ikhwan, karena akrabnya aktivis Tarbiyah dengan manhaj gerakan Ikhwanul Muslimin, gerakan Islam di Mesir yang pengaruhnya telah mendunia.

Dari orasi yang disampaikan Rahmat, memori orang terpanggil lagi pada kenangan 20 tahun ke belakang ketika aktivis Tarbiyah merintis gerakan ini di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Salah satu tandanya adalah merebaknya pengajian usrah dan halaqah di kampus-kampus. Tonggak lainnya, mulai maraknya pemakaian jilbab oleh para siswi dan mahasiswi yang mendapat tentangan keras dari berbagai kalangan yang alergi terhadap syariat Islam. "Gedung sekolah dan semua peralatan sekolah, termasuk Departemen Pendidikan yang dibangun 90% dananya dari ummat Islam, harus mengusir putri-putri Islam karena mereka menggunakan busana demi melaksanakan perintah agama mereka," ungkap murid kesayangan almarhum KH Abdullah Syafi'i ini dalam orasinya.

Begitu banyak pahit getir yang dirasakan, sehingga ada sebagian kader yang terputus dari jalan perjuangan. Tapi banyak pula yang bersabar, terus bermujahadah menempa diri dan menabung amal, bertahan hingga kini, menyemai insan dakwah ke seluruh pelosok negeri. Hasilnya antara lain, jilbab jadi pakaian jamak bagi wanita di negeri ini. Dari yang benar-benar penuh kesadaran berislam hingga yang masih ikut-ikutan lantaran telah jadi mode.

Tentu saja itu semua bukan cuma hasil kerja Rahmat Abdullah dan kawan-kawan seperjuangannya di Tarbiyah. Tapi harus diakui saham harakah Tarbiyah bersama harakah-harakah lain telah memberi itsar (bekas) perjalanan da'wah yang mengesankan di zamrud katulistiwa tercinta ini.

Bagaimana sejarah bermulanya harakah ini? Apakah benar terkait dengan Ikhwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir? Kepada Saiful Hamiwanto, Pambudi Utomo dan Deka Kurniawan dari Sahid, yang bertandang ke rumahnya yang sederhana nan asri di Kompleks Islamic Village Iqro', Pondok Gede, Bekasi, kiai yang ramah ini membeberkannya untuk Anda, para pembaca. Berikut ini kutipan dari sekitar tiga jam perbincangan dengannya. Selamat mengikuti.

Dengan menggelar seminar "Tarbiyah di Era Baru", gerakan Tarbiyah tampaknya mulai membuka diri secara terang-terangan. Bahkan tahun ini dicanangkan sebagai 'Aam (Tahun Kebangkitan) At-Tarbiyah. Apa latar belakangnya?

Bismillah, sangat disadari bahwa setiap fase perjuangan itu menuntut sikap-sikap sesuai dengan fase-fase tersebut. Sehingga ada doktrin dalam Tarbiyah yang disebut, likulli marhalatin mutaqallabatuhaa (setiap fase itu ada tuntunannya); kemudian li likulli marhalatin muqtadhayatuhaa, (setiap fase ada konsekuensi yang harus dilahirkannya), dan likulli marhalatin rijaaluhaa (setiap fase ada orangnya, tokohnya atau kadernya).

Kemudian, apa yang kita sampaikan ketika dakwah ini mengalami satu fase yang berbeda dengan masa lalu? Kemarin dakwah berhasil melalui masa-masa sulit, mengayuh diantara dua persoalan dan kondisi, yakni kondisi melawan arus yang tidak terlawan dengan kekuatan yang secara thobi'i (alami) susah dihadapi secara face to face, serta kondisi larut.

Memang, dalam fase itu, kita lihat banyak juga yang tidak memiliki istimroriyah (kesinambungan), kontinyunitasnya tidak jelas. Kalaupun ada yang berjalan terus, perkembangannnya menyedihkan. Ada juga yang berkembang tapi kehilangan asholah (orisinalitas). Ini adalah kasus-kasus perjalanan dakwah dalam menghadapi rezim yang represif dan tekanan budaya. Bisa jadi banyak yang larut. Seperti para pengikut Nabi Isa, setelah beberapa lama malah jadi pengikut penjajah yang nyaris menyalib Nabi Isa sendiri.

Nah, kita ingin, keberhasilan melewati masa-masa kritis dan sulit semacam itu juga bisa kita capai ketika keadaan ini berubah, karena tidak otomatis daya tahan itu ada. Makanya harus dicanangkan sesuatu agar apa-apa yang menjadi doktrin Tarbiyah di atas, bisa direalisasikan.

Bisa jadi, kader yang dulu tahan menderita lama, tiba-tiba ketika segalanya terbuka seperti sekarang ini, menjadi tidak tahan lagi. Kalau dulu kan jelas sekali perbedaannya, furqon-nya, antara haq dan batil, sehingga akhlak para kader itu selalu berlawanan dengan akhlak buruk orang-orang memusuhi mereka. Nah, setelah keadaan ini terbuka, apa ada jaminan bahwa mereka tidak akan larut?

Memang, secara doktrin sudah diantisipasi, misalnya dengan pemahaman tentang tamayyu' (mencairnya nilai-nilai), idzabah (pelarutan), istifdzadzat (provokasi), ighra'at (rayuan-rayuan), dan mun'athofat (tikungan-tikungan). Secara teoritis kita tahu semua tentang itu. Tapi ketika kita menjalaninya, apakah kita cukup siap?

Maka pencanangan ini beranjak dari kenyataan, dimana sebuah komunitas dakwah sedang mengalami fase-fase lain yang berbeda dengan fase ketika mereka dibesarkan dulu. Pencanangan ini untuk menyiapkan sesuatu yang secara teoritis sudah mereka kenal, tetapi secara komunal, penghayatan, apresiasi perlu dihadapi secara lebih serius agar tidak menimbulkan persoalan yang rumit yang menyebabkan taurits (pewarisan) itu menjadi terputus.

Dulu dimulai satu langkah dan hasilnya adalah hari ini. Bagi yang tidak mau melihat hasil yang sama di hari nanti, ya sekarang diam dan tidur saja. Tapi kalau ingin melihat terus-menerus keadaan seperti ini, maka harus bergerak untuk masa mendatang. Ini terutama yang melatarbelakangi pencanangan 'Aam At-Tarbiyah (Tahun Tarbiyah).

Tapi perlu dicatat bahwa pengertian tarbiyah (pendidikan) ini tidak menafikan proses tarbiyah yang terjadi di Indonesia sejak dulu. Tanpa proses tarbiyah, bagaimana mungkin walisongo dapat melahirkan pejuang-pejuang handal. Apapun namanya, apakah itu pengkaderan dengan 't' kecil (tarbiyah), yang jelas itu adalah proses pendidikan. Namun Tarbiyah yang sedang kita perbincangkan dalam konteks ini adalah dengan 't' besar, Tarbiyah (sebagai nama sebuah gerakan, red).

Wanti-wanti tentang pelarutan ini pernah Anda sampaikan waktu Munas PK tahun 2000. Apakah memang anda sendiri sudah melihat kecenderungan itu, sehingga perlu ada pencanangan ini?

Kalau kita baca sirah (sejarah), Rasululllah pernah berpesan diantaranya "ma al-faqru bi akhsya alaikum, bukanlah kefakiran yang aku takutkan dari kalian, tapi aku mengkhawatirkan apabila bumi di buka (dimenangkan) lalu kamu bersaing memperebutkan dunia, sehingga kamu celaka, sebagaimana celakanya orang-orang sebelum kamu." Dulu, kesulitan itu membuat segalanya terbatas, dan kita berhasil melewatinya. Contohnya, kita tidak punya villa, tapi bisa menikmati banyak villa. Dan kawasan Puncak (Bogor, red) yang dianggap identik dengan maksiat, seperti hari ini bisa berubah sebagai tempat acara pengajian karena seringnya digunakan untuk pengkaderan oleh semua pihak, diantaranya oleh kalangan Tarbiyah.

Wanti-wanti rasul itu, dalam kaitan ini, menegaskan bahwa setiap kondisi ada pengaruhnya. Kalau dulu, setiap waktu mereka bisa bertemu, sehingga kesalahan sedikit saja bisa langsung diketahui. Tapi ketika mereka sudah ada di kawasan yang menggiurkan, secara massal tantangan akan semakin keras. Sesuatu yang menggiurkan, kalau baru cerita, masih bisa bilang tidak mau. Tapi kalau sudah sudah di depan mata, bagaimana mungkin tidak tidak tergoda.

Supaya tidak larut, mereka jangan sampai lupa kepada akarnya. Makanya, pemantapan nilai Tarbiyah dalam pencanangan ini tidak bisa kita abaikan, meskipun sekarang mereka masih rutin bertemu setiap pekan dengan muhasabah (evaluasi) dan muraqabah (pengawasan).

[hidayatullah.com]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar