Unda

Rabu, 04 Agustus 2010

KH Rahmat Abdullah, "Tempat Curhat Santri Kilat"

Nama Rahmat Abdullah identik dengan halaqah dan daurah. Bila Ramadhan tiba dan pesantren kilat (sanlat) marak dimana-mana, Ustadz Rahmat seolah tak punya waktu luang untuk kegiatan lain. Jangan heran bila pria ramah ini diberi gelar 'PhD'. "Bukan singkatan dari Philosophy of Doctor, tapi Pakar Halaqah dan Daurah," candanya.

Keakraban dengan sanlat dimulai sejak tahun 1980. Rahmat yang waktu itu sudah aktif mengisi ta'lim mahasiswa, didatangi beberapa anak SMA yang ingin nyantri selama waktu liburan. Rahmat bersedia. Selama ta'lim, ternyata semangatnya tak kalah dengan para mahasiswa. "Mereka cukup militan, sesuai jiwa remajanya."

Pengalaman pertama begitu menggoda, selanjutnya Rahmat sering 'melirik' anak-anak SMA sebagai sasaran da'wahnya. Kebetulan, banyak orang tua yang meminta. Mereka tak segan-segan menyulap rumahnya menjadi tempat ta'lim, menyediakan transportasi, juga konsumsi. Ini berulang pada kesempatan liburan sekolah berikutnya, sampai akhirnya anak-anak SMA itu menjelma jadi kader da'wah yang tangguh. "Sekarang sudah banyak yang bergelar doktor dan menjadi ulama," akunya.

Selama pesantren kilat berlangsung, tokoh gerakan Tarbiyah ini banyak memberi materi yang sifatnya menantang. Misalnya kisah-kisah heroik kaum Muslimin, peradaban Islam, atau tentang ancaman musuh-musuh Islam. Dengan begitu akan tumbuh komitmen terhadap agamanya serta terbangun memori yang benar tentang Islam, tidak melulu gambaran hebat dunia Barat yang selama ini banyak terekam. "Anak-anak kami ajak melihat persoalan diri dan ummatnya, bukan cuma diri dan temannya."

Rahmat tidak sekadar bertindak sebagai guru mengaji, tapi juga menjadi 'bapaknya anak-anak' yang harus siap menerima curahan hati (curhat). Kadang terlontar pengaduan yang tak terduga. Misalnya pengakuan jujur seorang anak yang pernah melakukan hubungan seks dengan pacarnya, pecandu narkoba, atau mengadukan ayahnya yang korupsi. "Curhat semacam itu tak bisa dilakukan kepada orang tuanya yang sibuk," ujar ayah tujuh anak ini.

Khusus pesantren kilat di bulan Ramadhan, waktunya bisa cukup panjang. Supaya tidak menjemukan, Rahmat mengembangkan sistem pengajaran outbound yang variatif. Santri tidak hanya diajak diskusi tentang keislaman, tapi juga bergembira dalam acara olah raga, naik gunung, kemah, dan berbagai macam lomba. "Ternyata pesantren tidak hanya identik dengan kitab kuning yang terkesan kuno," begitu kata anak-anak.

Kalangan eksekutif dan pegawai juga tertarik. Dan liburan Sabtu-Ahad merupakan saat yang tepat. Istri atau suami dan anak-anak ikut serta, lantas menyewa vila sebagai tempat ta'limnya. Beberapa keluarga ini hidup dalam sebuah komunitas yang penuh keakraban, dan karenanya suasana itu senantiasa dirindukan. Bagi kalangan menengah ke bawah, hidup di villa merupakan saat-saat menyenangkan seperti halnya rekreasi. Cuma, tidak menjadi wisatawan, tetapi santri. Mau ikut?• (pam)

[www.hidayatullah.com]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar